HAK ISTRI MENUNTUT ATAS NAFKAH MADLYAH (LAMPAU) ANAK KARENA KELALAIAN MANTAN SUAMI
oleh:
Fahadil Amin Al Hasan
Pasal 41 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur perihal pemenuhan nafkah kepada anak oleh bapaknya. Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa seorang bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Ketentuan ini kemudian dipertegas dalam Pasal 149 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa apabila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Namun demikian, walaupun kewajiban nafkah anak telah ditentukan secara jelas dalam undang-undang, tetapi pada praktiknya banyak bapak yang melalaikan kewajiban tersebut. Hal tersebut menyebabkan ibu harus menanggung tanggung jawab yang banyak sekaligus (double burden). Selain ia harus mengurus dan memelihara anaknya, ia pun harus menanggung biayainya. Padahal, seharusnya ketika bapak mengabaikan tanggung jawabnya untuk membiayai nafkah anaknya, maka selayaknya ia harus dihukum. Salah satu bentuk hukuman yang harus diterimanya ialah dengan mengganti seluruh biaya yang telah dikeluarkan oleh ibu selama ia mengurus dan memelihara anaknya.
Untuk menjamin agar hal tersebut dapat dilaksanakan, maka Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 yang menegaskan bahwa Nafkah lampau (nafkah madliyah) anak yang dilalaikan oleh bapaknya dapat diajukan gugatan oleh ibunya atau orang yang secara nyata mengasuh anak tersebut.
Ketentuan yang terdapat dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2019 ini merupakan penegasan bahwa Mahkamah Agung sangat memperhatikan pada pemenuhan hak-hak perempuan dan anak yang sering diabaikan oleh mantan suami atau bapaknya. Ketentuan ini bertolak belakang dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 608 K/AG/2003 tanggal 23 Maret 2005 yang pada pokok pertimbangannya menjelaskan bahwa kewajiban bapak memberi nafkah kepada anaknya adalah lil intifa’, bukan lil tamlik. Oleh karenanya, maka kelalaian seorang bapak yang tidak memberi nafkah kepada anaknya (nafkah madliyah anak) tidak bisa digugat (Amiriyyah, N., 2015). Pendapat yang terdapat pada pertimbangan putusan kasasi ini dilandasi dari salah satu pendapat yang dipakai oleh mazhab syafi’i sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Wahbah Zuhayli sebagai berikut:
و قال الشا فعية : لا تصير نفقة الولد دينا على الوالد الا بفرض قاضى أو اذنه اقتراض بسبب غيبة أو امتناع عن الانفاق. وتسقط نفقة الولد عند الفقهاء بمضى الزمن من غير قبض ولا اسدانة لأنها وجبت على الوالد لدفع الحاجة, وقد زالت الحاجة لما مضى, فسقطت
“Pendapat kalangan Syafi’iyah: Nafkah terhadap anak itu tidak menjadi hutang bagi orang tua kecuali dengan adanya perintah atau izin dari hakim dikarenakan orang tua tersebut lalai atau tidak bersedia memberikan nafkah. Menurut fuqaha, (kewajiban orang tua) memberikan nafkah terhadap anak gugur apabila telah terlewati tanpa dapat digenggam (dituntut) atau dianggap sebagai hutang, karena kewajiban memberikan nafkah kepada anak itu hanya untuk memenuhi kebutuhan (anak). Jika kebutuhan tersebut sudah terpenuhi, maka tidak dapat dituntut lagi”.
Selain itu, ketentuan yang terdapat dalam SEMA ini mengisyaratkan bahwa dengan kesediaan ibu menafkahi anaknya, tidak serta merta menggugurkan kewajiban bapak atas nafkah anaknya tersebut, apalagi terhadap seorang bapak yang memang dengan sengaja melalaikan kewajibannya. Hal ini dianggap lebih adil daripada pendapat yang menyebutkan bahwa nafkah anak itu adalah lil intifa’ yang tidak dapat digugat. Ketentuan yang terdapat pada SEMA ini telah mempertimbangkan keadilan bagi perempuan yang pada faktanya istri mempunyai beban ganda (double burden) sebagai ibu yang menjaga dan mengurusi anaknya, serta sebagai pencari nafkah.
Ketentuan dalam SEMA ini telah diikuti oleh beberapa putusan pengadilan agama sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor 108/Pdt.G/2021/PA.Kbr, Putusan Nomor 324/Pdt.G/2021/PA.Mna, Putusan Nomor 601/Pdt.G/2021/PA.Talu, Putusan Nomor 75/Pdt.G/2021/PA.Pyb, dan Putusan Nomor 136/Pdt.G/2021/PA.Msa.