HAK-HAK ANAK DALAM ISLAM
oleh:
Fahadil Amin Al Hasan
Dalam Islam, anak memiliki kedudukan yang sangat penting sehingga senantiasa menjadi bahasan dan perhatian dalam banyak literatur Islam. Banyak istilah-istilah yang ditemukan baik pada al-Qur’an maupun al-hadits yang terkait langsung dengan persoalan anak. Berdasarkan penelusuran penulis dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para akademisi ditemukan beberapa hak anak yang secara jelas digambarkan dalam al-Qur’an maupun al-hadits, yaitu sebagai berikut:
- Hak Hidup dan Tumbuh Kembang
Hak yang paling asasi bagi anak adalah hak untuk hidup dan tumbuh kembang. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sejumlah aturan umum dan prinsip-prinsip dasar, serta pedoman beragama Islam yang menyebutkan bahwa menjaga kelangsungan hidup dan tumbuh kembang bagi anak adalah keharusan, sedangkan meremehkan pelaksanaan prinsip-prinsip dasar tersebut dianggap sebagai suatu dosa besar. Berdasarkan pada hal tersebut, maka Islam melarang orang tua membinasakan atau membunuh anaknya karena alasan apa pun, termasuk karena masalah ekonomi. Hal ini ditegaskan dalam surat al-Isra’ ayat 31 sebagai berikut:
وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَاِيَّاكُمْۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـٔا كَبِيْرًا
”Dan jangan kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (QS: al-Isra’: 31)
Ayat tersebut menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk hidup dan tumbuh kembang tanpa kecuali, termasuk anak dari perkawinan yang tidak sah. Mereka memiliki hak yang sama dengan anak lainnya yang harus dilindungi dengan tanpa mengurangi haknya sedikit pun. Dewasa ini, sering kali kita dipertontonkan melalui banyak tayangan pada media cetak maupun elektronik mengenai kasus pembunuhan terhadap anak (bayi), terutama kepada bayi yang dihasilkan di luar perkawinan yang hak hidupnya sengaja diabaikan oleh kedua orang tuanya. Padahal sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perbuatan itu merupakan dosa besar dan juga termasuk perbuatan yang keji dan tidak bermoral.
Dalam sejarah masa lalu, ada juga ditemukan tradisi membunuh anak perempuan karena menganggap bahwa anak perempuan itu adalah aib sebagaimana terjadi pada masa jahiliyah yang juga dikisahkan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ يَتَوٰرٰى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْۤءِ مَا بُشِّرَ بِهٖۗ اَيُمْسِكُهٗ عَلٰى هُوْنٍ اَمْ يَدُسُّهٗ فِى التُّرَابِۗ اَلَا سَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
“Dan apabila salah seorang mereka diberi kabar tentang kelahiran anak perempuannya, maka wajah mereka menjadi merah padam dan ia sangat marah. Dia bersembunyi dari kaumnya, karena buruknya berita yang disampaikan padanya. Apakah ia akan memelihara (anak perempuan itu) dengan menanggung kehinaan, atau akan menguburnya hidup-hidup ke dalam tanah. Ingatlah alangkah jeleknya apa yang mereka tetapkan”. (Q.S. al-Nahl: 58-59).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa jika pada masa saat ini masih banyak kasus pembunuhan terhadap anak perempuan oleh orang tuanya karena tidak puas atau benci dengan kehadiran anak perempuan, maka sesungguhnya ia telah mewarisi tradisi jahiliyyah yang secara tegas Allah menggambarkannya sebagai perbuatan yang amat buruk.
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka terhadap persoalan hak untuk hidup dan tumbuh kembang bagi anak, secara tegas al-Qur'an memerintahkan agar setiap orang tua dapat melindunginya melalui penggunaan kata “larangan membunuh anak” sebagaimana dijelaskan di atas. Namun apabila pengertian membunuh diperluas maknanya, maka yang dimaksud dengan “membunuh” tidak hanya secara fisik dengan menghilangkan ruhnya, namun membunuh juga dapat diartikan membunuh potensi atau cita-citanya. Dengan demikian, maka terhadap hak-hak anak tersebut sepanjang yang terkait dengan hak untuk hidup dalam arti luas dan tumbuh kembangnya harus senantiasa dilindungi.
Selain itu, salah satu implementasi menjaga dan melindungi hak anak untuk hidup dan tumbuh kembang ialah dengan memberikan haknya untuk mendapatkan ASI. Islam memberikan hak pada seorang anak bayi laki-laki maupun perempuan untuk mendapatkan ASI maksimal selama dua tahun, hal tersebut sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an yang menyatakan:
وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ...
”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan...”. (QS. Al-Baqarah: 233)
Ayat tersebut di atas menegaskan bahwa seorang ibu berkewajiban menyusui anaknya selagi sang ibu mampu. Dalam hal ini Ibn Hazm memberikan penjelasan bahwa ”Setiap ibu baik yang berstatus merdeka atau budak, punya suami maupun menjadi milik tuannya atau tidak kedua-duanya berkewajiban untuk menyusui bayinya suka atau tidak suka, meskipun si ibu adalah anak perempuan seorang khalifah”.
- Hak Mendapatkan Perlindungan dan Penjagaan
Salah satu anugerah yang diberikan Allah kepada makhluknya ialah kemampuannya dalam mempertahankan hidupnya sendiri (self survival). Diantara cara manusia untuk survive tersebut ialah dengan kecenderungan alamiah yang dimilikinya untuk menghindari bahaya yang mengancamnya. Namun demikian, walaupun kemampuan tersebut secara alamiah telah dimiliki setiap manusia sebagai bagian dari potensi yang Allah berikan, namun secara tegas Allah mengingatkan kepada setiap orang tua untuk terus menerus melindungi dan menjaga diri dan keluarganya, termasuk terhadap anak-anaknya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an:
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا
”Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir (terhadap kesejahteraannya). Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan berbicara dengan tutur kata yang benar”. (QS. al-Nisa: 9).
Kandungan ayat tersebut memerintahkan agar setiap orang tua memiliki rasa khawatir jika meninggalkan anak keturunan yang lemah. Lemah yang dimaksud dapat diartikan lemah dalam hal fisik, psikis, ekonomi, kesehatan, intelektual, moral dan lain sebagainya. Dengan kata lain ayat tersebut mengandung pesan bahwa setiap orang tua wajib melindungi anak dan cucunya agar ketika ia lahir senantiasa dalam keadaan kuat, baik secara jasmani, rohani, maupun ekonominya. Salah satu implementasi dalam memberikan perlindungan kepada anak ialah bahwa anak berhak atas nafkah yang diberikan orang tua kepadanya.
Para ulama membagi orang-orang yang berhak menerima nafkah dari seseorang dalam 4 (empat) kategori, yaitu: pertama, nafkah ushul, atau nafkah kepada bapak, kakek, terus ke atas; kedua, nafkah furu’, yaitu nafkah kepada anak, cucu, terus ke bawah; ketiga, nafkah kerabat, yaitu nafkah kepada adik, kakak, terus menyamping; dan keempat, nafkah istri. Berdasarkan pembagian kategori tersebut salah satunya adalah nafkah terhadap anak (nafkah furu’), yaitu kewajiban kepada orang tua yang mampu untuk memberikan nafkah kepada anak-anaknya sampai mereka mampu untuk menafkahi dirinya sendiri. Terkait hal ini Rasulullah saw. pernah menjelaskan sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh sayidatuna ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang menjelaskan bahwa rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku” (HR. At Tirmidzi)
Hadits tersebut menegaskan bahwa kepedulian seorang bapak kepada keluarga atau kepada anak-anaknya merupakan hal yang paling utama. Artinya, jika orang tua atau bapak tidak memperdulikan keluarga dan anak-anaknya, maka berdasarkan mahkum mukhalafah dari hadits tersebut termasuk kepada seburuk-buruknya di antara orang tua. Dengan demikian, maka mendapatkan perlindungan dan penjagaan dari orang tuanya adalah hak asasi yang dimiliki seorang anak.
Dalam Islam, lebih jauh dijelaskan bahwa perlindungan yang utama ialah perlindungan agar anak dan turunannya terhindar dari siksa api neraka. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Tahrim ayat 6 yang secara tegas Allah menyatakan bahwa:
يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا ...
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka” (QS At-Tahrim: 6)
Dengan demikian, setiap orang tua harus dapat mewujudkan agar anak-anak dan keturunannya dapat terhindar dari api neraka dan senantiasa mendapatkan keridha’an dan surganya Allah Ta’ala.
- Hak Mendapatkan Pendidikan dan Pengajaran
Hak asasi selanjutnya yang mutlak harus didapatkan anak ialah hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Dengan pemberian pendidikan dan pengajaran yang baik dari orang tuanya, berarti orang tua tersebut sedang mempersiapkan generasi masa depan yang kuat sebagaimana yang diperintahkan dalam surat al-Nisa ayat 9 berikut ini:
Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman:
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا
”Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir (terhadap kesejahteraannya). Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan berbicara dengan tutur kata yang benar” (QS. Al-Nisa’: 9).
Selain itu, pemberian pendidikan dan Pengajaran yang baik serta konsisten ialah bentuk implementasi dari menjalankan perintah Allah dalam surat at-Tahrim ayat 6 yang memerintahkan agar orang tua menjaga dan melindungi anak-anaknya dari siksa api neraka. Sebab salah satu washilah atau jalan bagi orang tua agar anaknya dapat terhindar dari siksa api neraka dan mengenal perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama ialah dengan pendidikan dan pengajaran yang baik. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Sabiq bahwa maksud “al-wiqayah” (penjagaan) dalam Surat At-Tahrim ayat 6 tersebut memiliki penjelasan bahwa orang tua wajib menjaga diri dan keluarga dari api neraka melalui pendidikan dan pengajaran, menumbuhkan akhlak mereka (anak-anak dan keluarganya) dengan akhlak utama, dan menunjukkan mereka (anak-anak dan keluarganya) kepada hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan mereka (anak-anak dan keluarganya).
Mengenai kewajiban memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik kepada anak, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Hakim bahwa Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما نحل والد ولده أفضل من أدب حسن
“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik” (HR Imam al-Hakim, hadits ke- 7679).
Sejalan dengan hadits di atas, imam Abu Hamid al-Ghazali menjelaskan bahwa metode untuk melatih dan mendidik anak-anak merupakan urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan lainnya. Hal tersebut disebabkan karena anak merupakan amanah orang tuanya yang hatinya masih bersih layaknya permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan diukir.
Anak akan menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan padanya. Jika anak dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun gurunya yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika anak dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya ia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban mendidiknya. Oleh karena itu Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata:
أدب ابنك فإنك مسؤول عنه ما ذا أدبته وما ذا علمته وهو مسؤول عن برك وطواعيته لك
“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu)”.
- Hak Mendapatkan Perlakuan yang Sama
Salah satu konsep utama Islam dalam memandang manusia ialah konsep musawah atau equality. Artinya, bahwa Islam tidak membedakan manusia berdasarkan strata sosial, gender, ras, melainkan sikap ketakwaan manusia terhadap penciptanya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran berikut ini:
يٰاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاِۤلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S Al-Hujurat: 13).
Perlakuan yang sama tidak hanya ditujukan kepada orang yang telah dewasa, melainkan hal tersebut harus pula dilakukan kepada anak-anak. Hal tersebut merupakan implementasi dari perintah Allah Ta’ala kepada setiap muslim agar berlaku adil sebagaimana Firman-Nya yang berbunyi sebagai berikut:
يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Berlaku adillah kamu, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa....” (QS. al-Maidah: 8)
Dalam kitab Tuhfatul Maudud bi ah kamil maulud, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah mensadur salah satu hadits Nabi shalallahu ‘alaihisalam yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi mengenai perlakuan seorang bapak terhadap anak-anaknya. Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa seorang laki-laki yang duduk bersama Nabi, tiba-tiba anak laki-lakinya datang dan ia menyambutnya dengan menciumnya serta mendudukkan di pangkuannya. Selang beberapa waktu kemudian datanglah anak perempuannya, dan ia menyambutnya tanpa menciumnya serta mendudukkannya di sampingnya. Melihat kejadian itu, Nabi Saw. bersabda: “Kenapa tidak kau perlakukan keduanya secara adil?..”. Hadits tersebut menunjukkan bahwa seorang bapak harus berlaku adil kepada anak-anaknya, baik kepada anak laki-laki maupun anak perempuan.
Selain pada hadits tersebut, terdapat pula hadits lain yang menggambarkan mengenai sikap orang tua kepada anaknya dalam hal pemberian hadiah sebagaimana terdapat pada hadits di bawah ini:
عَنْ النُّعْمَانِ قَالَ: سَأَلَتْ أُمِّي أَبِي بَعْضَ الْمَوْهِبَةِ فَوَهَبَهَا لِي، فَقَالَتْ: لاَ أَرْضَى حَتَّى أُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَأَخَذَ أَبِي بِيَدِي وَأَنَا غُلاَمٌ، فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمَّ هَذَا ابْنَةَ رَوَاحَةَ طَلَبَتْ مِنِّي بَعْضَ الْمَوْهِبَةِ، وَقَدْ أَعْجَبَهَا أَنْ أُشْهِدَكَ عَلَى ذَلِكَ، قَالَ: يَا بَشِيرُ، أَلَكَ ابْنٌ غَيْرُ هَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَوَهَبْتَ لَهُ مِثْلَ مَا وَهَبْتَ لِهَذَا؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَلاَ تُشْهِدْنِي إِذًا، فَإِنِّي لاَ أَشْهَدُ عَلَى جَوْرٍ
“Dari an-Nu’man (bin Basyir), beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Ibu saya meminta hibah kepada ayah, lalu memberikannya kepada saya. Ibu berkata, ‘Saya tidak rela sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi saksi atas hibah ini.’ Maka ayah membawa saya saat saya masih kecil- kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, ibunda anak ini, ‘Amrah binti Rawahah memintakan hibah untuk si anak dan ingin engkau menjadi saksi atas hibah.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Wahai Basyir, apakah engkau punya anak selain dia?’ ‘Ya.’, jawab ayah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, ‘Engkau juga memberikan hibah yang sama kepada anak yang lain?’ Ayah menjawab tidak. Maka Rasulullah berkata, ‘Kalau begitu, jangan jadikan saya sebagai saksi, karena saya tidak bersaksi atas kezhaliman” (HR Imam Bukhari, Hadits ke-1623).
Kedua hadits di atas merupakan dalil atau dasar bahwa Islam menjunjung tinggi prinsip non-diskriminasi terhadap anak. Artinya bahwa setiap orang tua tidak diperkenankan membeda-bedakan atau pilih kasih terhadap anak-anaknya, baik itu dalam sikap (immaterial) maupun perbuatan (material). Sikap membeda-bedakan merupakan hal yang dibenci sebagaimana pendapat para ulama yang menyatakan:
وَيُكْرَهُ لِأَصْلٍ تَفْضِيْلٌ فِيْ عَطِيَةِ فُرُوْعٍ وَإِنْ سَفَلُوْا وَلَوِ اْلأَحْفَادَ مَعَ وُجُوْدِ اْلأَوْلاَد
“Orang tua dimakruh bersikap pilih kasih dalam pemberian terhadap anak, walaupun ke bawah atau cucu meski anaknya masih ada,”
- Hak untuk Berpendapat
Salah satu hak lainnya yang dimiliki anak ialah hak mereka untuk berpendapat. Dalam Islam hak untuk berpendapat ini secara tegas dicontohkan dalam al-Qur’an sebagaimana kisah yang terjadi pada keluarga Ibrahim ‘alaihi salam sewaktu sang bapak diberikan isyarat dalam mimpinya untuk menyembelih anaknya, nabi Ismail ‘alaihi salam. Ketika itu nabi Ibrahim tidak sewenang-wenang melaksanakan isyarat tersebut secara langsung. Namun nabi Ibrahim memberi teladan yang indah bagaimana cara menerapkan nilai-nilai kebajikan yang asasi dalam kehidupan keseharian, yaitu sikap terbuka, transparansi, dan demokrasi dengan cara mempersilahkan Ismail untuk mengemukakan pendapatnya, padahal ketika itu Ismail masih kanak-kanak.
Kisah kedemokratisan tersebut dapat ditemukan dalam ayat berikut ini:
فَلَمّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْن . فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۙ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ
“Maka, tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, "Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya (Ibrahim dan Ismail) berserah diri, dan Ibrahim membaringkan anaknya (Ismail) atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Dan, Kami panggil dia, “Hai Ibrahim! Kau telah membenarkan mimpimu. Sesungguhnya Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang nyata. Dan, Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (QS. Al-Shaffat: 102-107).
Kisah nabi Ibrahim dan Ismail tersebut di atas mengisyaratkan kepada setiap orang tua tentang pentingnya menerapkan prinsip demokratis di tengah keluarganya masing-masing, salah satunya yaitu dengan menghargai pendapat dari sang anak. Di luar itu semua, bahkan orang tua diharuskan untuk menerima kritik dan saran dari anak-anaknya, terlebih jika dia dalam posisi yang salah. Hal tersebut karena sesungguhnya upaya untuk menjelaskan atau meluruskan kesalahan yang dilakukan orang tua oleh anaknya adalah tindakan terpuji menurut syariat. Karenanya menurut Syekh Muhammad Ibrahim Al-Bajuri bahwa terhadap tindakan untuk meluruskan kesalahan orang tua yang dilakukan oleh anaknya adalah hal terpuji, dan kalau pun meminjam istilah durhaka terhadap orang tua, maka tindakan anak terhadap kedua orang tuanya tersebut adalah “durhaka terpuji” sebagaimana perkataan beliau dalam kitabnya:
وأما إذا كان لإحقاق حق وإبطال باطل أي لإظهار حقيقة الحق وإظهار بطلان الباطل فممدوح شرعا ولو من ولد لوالده فيكون عقوقا محمودا
“Adapun bila itu bersifat mengungkapkan yang hak dan menyatakan kebatilan, yaitu menjelaskan hakikat yang hak dan menjelaskan kebatilan sesuatu yang batil, maka itu terpuji menurut syariat, sekali pun itu dilakukan oleh anak terhadap kedua orang tuanya, maka itu terbilang ‘durhaka’ yang terpuji”.
- Hak Mendapatkan Cinta dan Kasih Sayang
Hak anak selanjutnya yang wajib dijamin dan dilindungi ialah hak untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya, terutama dari Kedua orang tuanya. Dalam literatur Islam diperoleh gambaran bahwa orang tua dianjurkan untuk memperlihatkan perasaan cinta dan kasih sayang terhadap anak-anaknya, sehingga anak-anaknya tersebut merasa bahwa orang tuanya itu mencintai dan mengasihi mereka. Setiap anak punya hak untuk mendapatkan dan merasakan wujud nyata dari perasaan cinta kasih orang tuanya, hal tersebut tergambar dari uswah yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana tercantum dalam kitab “Dalilul Falihin” pada bab Ta’dzimu Hurumatil Muslim yang menggambarkan bahwa Nabi benar-benar mewujudkan perasaan cinta kasih dan sayangnya dengan mencium cucu-cucunya dan Nabi pun mengkritik orang tua yang tidak pernah mencium anak-anaknya. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam hadis berikut ini:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَبَّلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ وَعِنْدَهُ الأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيْمِيُّ جَالِسًا فَقَالَ الأَقْرَعُ: إِنَّ لِيْ عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا. فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
“Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan bin Ali, dan saat itu di samping beliau ada Al-Aqro’ bin Habis. Al-Aqro’ berkata: “Aku punya 10 orang anak, namun aku belum pernah mencium seorangpun dari mereka! Mendengar hal itu, Rasulullah kemudian berkata sambil memandang dia. “Barangsiapa yang tidak mengasihi, iapun tidakakan dikasihi” (HR Bukhari-Muslim)
Selain hadits tersebut di atas, terdapat hadits lain yang menerangkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengkritisi orang tua yang tidak pernah mencium anaknya sebagaimana berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما قَالَتْ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: تُقَبِّلُوْنَ الصِّبْيَانَ فَمَا نُقَبِّلُهُمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوَ أَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللَّهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ
“‘Aisyah ia berkata. Serombongan orang Badui datang menghadap Rosulullah sawseraya berkata: “Apakah kamu mencium anak-anakmu?”. Para sahabat menjawab: “Ya”. Mereka berkata: “Akan tetapi, demi Allah, kami tidak mencium”. Maka Rasulullah bersabda :“Apakah dayaku, bila Allah telah mencabut rasa sayang dari hatimu” (HR. Bukhari-Muslim)
Salah satu implementasi lain dari hak anak untuk mendapatkan cinta dan kasih dari orang tuanya ialah dengan memastikan bahwa anak-anaknya mendapat hak untuk bermain sesuai dengan tingkat perkembangan usianya yang dapat memperluas pengetahuan anak tersebut.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan contoh yang indah dalam hal ini. Diriwayatkan pada suatu hari Nabi memimpin sembahyang berjamaah. Waktu itu datanglah Hasan dan Husain, cucu-cucu beliau. Sewaktu Nabi sedang sujud, keduanya menaiki punggung beliau, dan Nabi memperpanjang sujud sampai kedua cucu tersebut turun dari punggung. Setelah selesai shalat para sahabat bertanya kenapa beliau melakukan salah satu sujudnya lama sekali. Nabi menjawab: “Kedua cucu saya naik ke punggung saya dan saya tidak tega menyuruh mereka turun”. Dari kejadian itu dapat diambil pengertian bahwa Nabi tidak suka menjauhkan anak-anak dari dunia permainannya, walaupun hal itu sangat mengganggu buat diri beliau. Bahkan dalam kesempatan yang lain, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa pergi ke pasar dan membeli sebuah mainan dan membawanya pulang untuk anak-anaknya, maka apa yang dilakukannya itu ibarat memberi sedekah kepada sekelompok orang yang terlantar dan sangat membutuhkannya; dan hendaklah beri lebih dahulu anak perempuan kemudian baru yang laki-laki”. Demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan kebutuhan anak terhadap bermain seperti kebutuhan seseorang yang sangat miskin terhadap sedekah.