PEMBAGIAN HARTA BERSAMA BERDASARKAN BESARAN KONTRIBUSI SUAMI ISTRI DALAM PERKAWINAN
(Analisis Perkara Harta Bersama Nomor: 2340/Pdt.G/2019/PA.Badg jo. 738 K/AG/2020)
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa. Artinya, berdasarkan definisi ini, maka tujuan perkawinan atau membina rumah tangga ialah untuk selamanya, bukan hanya untuk main-main atau mencari sensasi belaka. Namun demikian, banyak ikatan perkawinan seseorang kandas ditengah jalan yang akibatnya berujung pada perceraian. Sehingga, akibat perceraian tersebut timbulan akibat hukum lain sebagai konsekuensi dari suatu perceraian, misalnya hak asuh anak (hadhonah), nafkah iddah, dan mut’ah, masa idah istri, nafkah istri dan anak, dan yang terkait dengan kebendaan adalah harta bersama.
Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung, sejak perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan akibat perceraian, kematian, maupun putusan Pengadilan. Persoalan penyelesaian mengenai harta bersama sering kali menjadi rumit dan kadang sulit untuk diselesaikan. Hal tersebut disebabkan karena masing-masing pihak berargumen bahwa merekalah paling berkontribusi terhadap perolehan harta bersama tersebut di antara pihak lainnya. Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam pada 97 disebutkan bahwa “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua atas harta peninggalan bersama selama tidak ditentukan lain dalam perjanjian pernikahan”. Selain itu ketentuan mengenai harta bersama pun diatur dalam Pasal 128-129 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa putusnya tali perkawinan antara suami dan istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami istri. Dengan demikian, maka berdasarkan 2 (dua) ketentuan tersebut di atas bahwa selama mengenai harta bersama tidak diatur dalam perjanjian perkawinan, maka masing-masing mantan suami dan mantan istri berhak ½ (setengah) bagian dari harta bersamanya tersebut. Namun Pertanyaannya, apakah ketentuan tersebut otomatis harus dilaksanakan terhadap semua perkara harta bersama dengan tanpa melihat kontribusi antara suami dan istri selama perolehan harta bersama?. Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan membahas perkara Nomor: 2340/Pdt.G/2019/PA.Badg jo Putusan Kasasi Nomor 738 K/AG/2020 mengenai harta bersama yang permasalahan dan duduk perkaranya hampir sama dengan persoalan yang bahas pada tulisan ini.
Duduk Perkara secara Singkat
Pada perkara ini, Penggugat yang merupakan mantan suami dari Tergugat menggugat terhadap 8 (delapan) objek harta bersama berupa 2 (dua) tanah berserta bangunan di atasnya, 2 (dua) rumah yang berdiri di atas tanah sewa milik Pemerintah Kota Bandung, dan 4 (empat) kendaraan bermotor agar dibagi setengah sama banyak sesuai dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun Tergugat atau mantan istri Penggugat menolak dengan tegas gugatan Penggugat dan menyatakan bahwa objek-objek yang ada pada gugatan selain dari objek nomor 4 (empat), yaitu rumah yang berdiri di atas tanah sewa, 1 (satu) unit Honda Blade, 1(satu) unit Honda Scoopy, dan 1 (satu) unit Motor kaisar adalah harta bawaan dan harta milik ibu atau keluarga Tergugat yang mengatasnamakan Tergugat.
Namun demikian, selama proses berlangsungnya persidangan, Tergugat tidak mampu meyakinkan hakim bahwa objek-objek yang diklaimnya sebagai harta bawaan dan harta milik orang tua atau keluarganya, bahkan Tergugat lebih memperjelas bahwa objek-objek tersebut diperoleh selama masa perkawinan dengan Penggugat. Akan tetapi, ditemukan fakta bahwa selama awal perkawinan sampai dengan tahun 2003 dan ketika berpisah pada tahun 2009 sampai dengan diputusnya perceraian pada awal tahun 2017 Penggugat tidak memberikan nafkah sebagaimana tugas dan kewajiban suami. Sedangkan pembelian objek sengketa angka 3 nomor 1 dan 2 dilaksanakan pada rentan waktu dimana Penggugat tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai suami.
Pengertian Harta Bersama
Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung sejak perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan akibat perceraian, kematian natian maupun putusan Pengadilan. Hal ini senada dengan pengertian harta bersama dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai yang menjelaskan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Artinya, poin terpenting dari harta bersama ialah perolehannya didapat dalam masa perkawinan sepanjang tidak diatur dalam perjanjian perkawinan (vide pasal 97 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI).
Menurut Yahya Harahap ruang lingkup harta bersama dapat dilihat sebagai berikut:
- Harta yang dibeli selama perkawinan. Setiap barang yang dibeli selama perkawinan maka secara otomatis menurut hukum, harta tersebut menjadi objek harta bersama suami istri, sekalipun harta atau barang terdaftar atas nama salah seorang suami atau istri, maka harta yang atas nama suami istri itu dianggap harta bersama.
- Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan. Apabila harta tersebut dipelihara atau diusahakan dan telah dialihnamakan ke atas nama adik suami, jika harta yang demikian dapat dibuktikan hasil yang diperoleh selama masa perkawinan, maka harta tersebut harus dianggap harta bersama suami istri.
- Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama. Harta atau rumah yang dibangun atau dibeli sesudah terjadi perceraian dianggap harta bersama suami istri jika biaya pembangunan atau pembelian sesuatu barang tersebut diperoleh dari hasil usaha bersama selama perkawinan.
- Penghasilan harta bersama dan harta bawaan Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama dengan sendirinya menjadi objek harta bersama. Akan tetapi bukan hanya penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, melainkan juga penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi. Dalam hal ini barang pokoknya memang tidak boleh diganggu gugat, tetapi hasil yang tumbuh dari padanya jatuh menjadi objek harta bersama.
Kontribusi Suami Istri dalam Pembagian Harta Bersama
Dalam teori keadilan distributif Aristoteles (justisia distributive) dijelaskan bahwa keadilan selalu menuntut setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya secara proporsional. Artinya, yang dimaksud dengan keadilan adalah memberikan bagian kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau kontribusinya.
Pada suatu biduk rumah tangga, biasanya laki-laki sebagai suami bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun kenyataannya sering kali seorang suami tidak mampu memenuhi segala kebutuhan hidup keluarganya. Akibat dari peran suami yang tidak maksimal inilah banyak perempuan dalam hal ini istri, menginginkan ikut berperan dalam memenuhi kebutuhan hidup bagi keluarganya. banyak wanita yang terjun kedunia kerja dan meniti karir diperusahaan-perusahaan bahkan kadang karir seorang istri jauh melampaui karir suaminya. Sehingga, dalam kasus seperti ini kadangkala istri mempunyai beban ganda (double burden) sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah. Hal tersebut menjadikan ketimpangan kontribusi antara suami istri dalam suatu rumah tangga.
Pembagian harta bersama seperdua bagi suami dan seperdua bagi istri hanya sesuai dengan rasa keadilan apabila suami maupun istri sama-sama melakukan kontribusi yang dapat menjaga keutuhan dan kelangsungan hidup keluarga. Artinya, suami fokus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sedangkan istri fokus mengurusi suami dan anak-anaknya.
Karenanya apabila dihubungkan dengan teori distributif di atas, jika dalam suatu keluarga istri memiliki peran ganda (double burden), maka istri istri berhak mendapatkan bagian harta bersama yang lebih banyak dari suami. Berdasarkan hal tersebut maka kontribusi dalam jasa anatara suami dan istri perkawinan dapat memengaruhi besaran porsi yang didapatkan dalam pembagian harta bersama.
Penentuan Bagian Harta Bersama dan Analisisnya
Dalam perkara ini, diperoleh fakta bahwa pembelian pada objek sengketa angka 3 nomor 1 dibeli oleh Tergugat pada bulan Maret 2003 dan objek sengketa angka 3 nomor 2 dibeli Tergugat pada bulan Mei 2012 dimana pada masing-masing bulan dan tahun tersebut Penggugat dan Tergugat masih dalam ikatan suami Istri. Namun demikian, terhadap fakta tersebut Tergugat mendalilkan bahwa selama awal perkawinan dengan Penggugat sampai dengan diperolehnya objek nomor 1 dan pada rentan tahun 2009 sampai dengan diperolehnya objek nomor 2, Penggugat tidak pernah memberikan nafkah apalagi uang untuk membeli rumah/objek sengketa tersebut. Bahkan berdasarkan dalil Tergugat, Pengggat dan Tergugat telah berpisah rumah dari tahun 2009 sampai dengan diputusnya cerai oleh pengadilan agama pada awal tahun 2017.
Terhadap dalil tersebut, Penggugat tidak menjawabnya, sehingga apa yang didalilkan oleh Tergugat dianggap diakui oleh Penggugat. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa pembelian objek sengketa angka 3 nomor 1 dan 2 di atas diperoleh dari keuangan Tergugat selama melangsungkan perkawinan dengan Penggugat atau setidaknya melalui dominasi keuangan yang dihasilkan oleh Tergugat. Adapun kontribusi Penggugat terhadap rumah tersebut ialah sebatas renovasi dan pemeliharaannya;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka gugatan Penggugat agar terhadap harta tersebut agar dibagi dua antara Penggugat dan Tergugat harus dinyatakan ditolak dengan alasan berikut ini:
- Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara jelas diatur tentang ketentuan pembagian harta bersama. Pada pasal 37 dalam undang-undang tersebut hanya menyebutkan bahwa: “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Adapun yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ditegaskan dalam penjelasan pasal tersebut yaitu: “Hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya”;
- Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam telah diatur secara jelas mengenai porsi pembagian harta bersama, yaitu pada Pasal 97 yang berbunyi: “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”;
- Ketentuan pada pasal 97 tersebut di atas dapat dilaksanakan jika masing-masing pasangan menjalankan sesuai dengan kewajiban dan tugasnya masing-masing. Sehingga, terhadap perkara ini tidak dapat diterapkan ketentuan yang diatur pada pasal tersebut, karena berdasarkan pertimbangan hukum di atas ditemukan fakta bahwa selama awal perkawinan sampai dengan tahun 2003 dan ketika berpisah pada tahun 2009 sampai dengan diputusnya perceraian pada awal tahun 2017 Penggugat tidak memberikan nafkah sebagaimana tugas dan kewajiban suami. Sedangkan pembelian objek sengketa angka 3 nomor 1 dan 2 dilaksanakan pada rentan waktu dimana Penggugat tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai suami. Padahal pada Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam secara jelas telah menentukan bahwa kewajiban seorang suami terhadap istrinya adalah memberikan (a) Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri, dan (b). Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;
Dengan demikian, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas serta memperhatikan lamanya Penggugat dan Tergugat melangsungkan rumah tangga, dan terdapat pula harta lain yang tidak dipermasalahkan, maka Majelis Hakim tingkat Pertama menentukan bahwa pembagian harta bersama tersebut tidak masing-maning Penggugat dan Tergugat mendapatkan ½ bagian, namun Majelis Hakim menentian bagian masing-masing Penggugat dan Tergugat sebesar ¼ (satu per empat) bagian untuk Penggugat dan ¾ (tiga per empat). Pembagian tersebut kemudia dibatalkan oleh Majelis Hakim tingkat Banding melalui putusan Nomor 35/Pdt.G/2020/PTA.Bdg, yaitu dengan membagi masing-masing Penggugat dan Tergugat ½ bagian. Namun pada tingkat Kasasi, Majelis Hakim Kasasi mengembalikan jumlah bagiannya sebagaimana putusan tingkat pertama, yaitu ¼ (satu per empat) bagian untuk Penggugat dan ¾ (tiga per empat) bagian untuk Tergugat;
Jumlah bagian yang ditentuakan Majelis Hakim tingkat pertama dan tingkat Kasasi tersebut jelas menyimpangi ketentuan pada pasal 97 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam hal ini dasar yang digunakan kedua majelis tersebut (Majelis tingkat pertama dan Majelis Kasasi) ialah berdasarkan besaran kontribusi antara suami dan Istri dalam Perkawinan. Dalam perkara tersebut jelas kontribusi istri lebih besar daripada sang suami. Selain ia menjalani kewajiban sebagai istri, tetapi ia juga berkontribusi untuk mengumpulkan harta yang seharusnya itu dilakukan sepenuhnya oleh suaminya. Kondisi semacam ini banyak ditemukan dalam kondisi rumah tangga dewasa ini sering dengan berubahnya pola hidup masyarakat yang membuat para istri tidak hanya duduk di rumah dan melayani kebutuhan suami, melainkan juga ingin terlibat dalam kegiatan usaha keluarga, terlibat dalam kegiatan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya. Penghasilan ekonomi istri juga tidak sekadar menjadi sumber ekonomi tambahan atau sampingan bahkan bisa jadi menjadi sumber pokok atau utama.
Khusus di daerah perkotaan saat ini semakin banyak terjadi penghasilan istri justru menjadi tumpuan ekonomi keluarga termasuk suaminya. Dengan begitu istri mempunyai beban ganda (double burden) sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah. Hal tersebut menjadikan ketimpangan kontribusi antara suami istri dalam suatu rumah tangga. Oleh karena itu jelas bahwa telah terjadi perubahan besar antara kebudayaan lama dengan kebudayaan baru, antar bangunan sosial lama dengan bangunan sosial zaman sekarang. Maka tidaklah proporsional apabila hukum lama diterapkan dalam struktur sosial baru.
Sebagaimana teori keadilan distributif dari Aristoteles (justisia distributive) yang menyatakan bahwa keadilan adalah memberikan bagian kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau kontribusinya. Dengan demikian, maka istri berhak mendapatkan bagian harta bersama yang lebih banyak dari suami apabila mempunyai jasa yang lebih besar dari suami selama masa perkawinan. Berdasarkan hal tersebut maka kontribusi dalam perkawinan dapat mempengaruhi besaran porsi yang didapatkan dalam pembagian harta bersama.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalam putusannya, majelis hakim melakukan ijtihad progressif dengan melakukan contra legem yaitu mengesampingkan norma aturan yang terdapat dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam yang seharusnya harta bersama dibagi setengah sama banyak di antara para pihak. Putusan tersebut merupakan sebuah langkah progresif yang inheren dengan perlindungan hak asasi manusia perempuan sebagaimana ditegaskan dalam Deklarasi Wina. Deklarasi ini menegaskan konsepsi tentang hak asas perempuan sebagai hak asasi manusia yang universal yaitu: “The human rights of women and of the girl-child are an inalienable, integral and indivisible part of universal human right.”
(Penulis: Fahadil Amin Al Hasan, S.Sy., M.Si.)