PENGADILAN AGAMA RANGKASBITUNG KELAS 1B.png

Written by Super User on . Hits: 235788

Sumber-sumber kaidah-kaidah fikih: al-Kitab, al-Sunnah, atsar sahabat dan tabi’in, dan ijtihad fuqaha` pada furû’ dan juz`iyyât

Oleh:

GUSHAIRI, S.H.I, MCL

Hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung

Pendahuluan

Kaidah fiqhiyah ini sebagai salah satu disiplin ilmu tidak berdiri sendiri dalam tema dan kajiannya karena Kaidah Fiqhiyah merupakan simpul-simpul umum dari beberapa permasalahan hukum Islam yang digunakan oleh fuqaha dalam mencari solusi permasalahan hukum yang muncul di tengah masyarakat dalam berbagai tema baik ibadah, muamalah, maupun isu-isu hukum Islam kontemporer.

Menurut Abu Zahrah qawa’id fiqhiyah dihasilkan dari analisis induktif (istiqra’) dengan memperhatikan faktor-faktor kesamaan (al-ashbah) berbagai macam topik fiqh yang kemudian disimpulkan menjadi kaidah fiqh.[1]Dengan kata lain, kaidah fiqh merupakan kumpulan dari sekian masalah fiqh yang berfungsi untuk memudahkan para praktisi hukum Islam dalam melakukan istinbath hukum.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan sumber hukum dari kaidah fiqhiyyah ini, menurut Syeikh Doktor Muhammad sidqi bin ahmad al burni abu haris al-ghazzi dalam bukunya al-qawa’id al-fiqhiyyah menyebutkan bahwa yang menjadi sumber hukum dalam kaidah fiqhiyyah ini adalah berasal dari al-Qur’an, Hadis Nabi, dan atsar para sahabat.[2] Di sisi lain, Dr. Muhammad Az-zuhaili menyebutkan bahwa sumber dari kaidah fiqhiyyah ini adalah tiga macam, yaitu al-Qur’an, sunnah nabi, dan ijtihad.[3]

Dengan berbedanya para ulama dalam menetapkan sumber-sumber hukum dari kaidah fiqhiyyah ini, menjadi menarik bagi penulis untuk melihat secara mendalam apa saja yang menjadi sumber hukum dalam kaidah fiqhiyyah ini.

Pembahasan

Proses lahirnya kaidah fiqhiyyah adalah bersumber dari hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis, kemudian muncul ushul fiqh sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (Istinbath al-ahkam). Dengan metodologi ushul fiqh yang menggunakan pola pikir deduktif yang menghasilkan fikih. Fikih banyak materinya, dari materi fikih yang banyak itu kemudian oleh ulama-ulama yang di dalam ilmunya di bidang fikih, diteliti persamaannya dengan menggunakan pola pikir induktif, kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah fikih, kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan hadis, terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi, apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat al-Qur’an dan banyak hadis Nabi, Baru kaidah fikih tadi menjadi kaidah fikih yang mapan, apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/akurat, maka ulama-ulama fikih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab tantangan perkembangan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya, yang pada akhirnya memunculkan fikih-fikih baru.

Munculnya kaidah fikih ini sebenarnya telah mempunyai bibit sejak zaman Rasulullah SAW. Akar-akar kaidah fikih ini telah ada pada zaman Rasulullah SAW yang diinduksi oleh ulama fikih dan dijadikan suatu kaidah. Akar kaidah fikih itu bermula dari ayat al-Quran dan hadis Nabi, karena memang setiap kaidah memiliki sumber dari keduanya sebagaimana yang dicantumkan oleh imam suyuti dalam kitab asybah-nya.[4]

Kaidah fiqhiyyah yang bersumber dari Al-Qur’an,

Al Quranul Karim merupakan sumber pokok dan dalil utama bagi hukum syariat Islam. Kumpulan firman–firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan dinukilkan dengan jalan mutawatir. Ayat–ayat Al quran yang Allah turunkan dengan cara yang terpisah–pisah menurut kejadian dan peristiwa dalam masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu, peristiwa tersebut di dalam istilah hukum Islam di sebut asbabun nuzul.

Aturan–aturan hukum syariat ini berlakunya berangsur–angsur menurut situasi sebab–sebab turunnya ayat, disesuaikan dengan kemampuan umat pada masa dahulu. Membutuhkan strategi yang tepat untuk pendekatan kepada masyarakat jahiliyyah untuk meninggalkan kebiasaan yang dilarang oleh syariat Islam dan mengubah hukum mereka yang sudah kuno dengan hukum  baru. Hal itu dapat dilihat dengan jelas seperti aturan larangan minum khamar dan maisir.

Al-Qur’an mulai diturunkan di Mekkah, tepatnya di Gua Hira pada tahun 611 M, dan berakhir di Madinah pada tahun 633 M, dalam jarak waktu kurang lebih 22 tahun beberapa bulan. Al-Qur’an ini diturunkan dalam dua periode, yaitu periode Mekkah dan Madinah. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah pada umumnya yang menjadi inti pembicaraannya adalah tentang masalah-masalah keyakinan (aqidah), dalam rangka meluruskan keyakinan umat di masa jahiliyah dan menanamkan ajaran tauhid. Selain itu, ayat-ayat makkiyah berbicara tentang kisah umat-umat masa lampau sebagai pelajaran bagi umat Nabi Muhammad Saw. Sementara itu, ayat-ayat yang berkaitan masalah hukum belum banyak diturunkan, kecuali beberapa hal saja, seperti kewajiban menjaga kehormatan kecuali terhadap pasangan suami isteri, diharamkan memakan harta anak yatim, larangan mubazzir, larangan mengurangi timbangan, larangan membuat kerusakan di muka bumi, dan ayat tentang kewajiban Shalat.[5]

Selain ayat-ayat makkiyah, ada ayat-ayat yang diturunkan ketika Rasulullah Hijrah ke Madinah yang lebih dikenal dengan ayat-ayat madaniyah. Ayat-ayat madaniyah ini banyak berkaitan dengan hukum dari berbagai aspeknya. Misalnya tentang perintah membayar zakat, tentang puasa, tentang haji, tentang pengharaman riba, mengenai larangan memakan harta orang lain secara tidak sah, tentang wanita-wanita yang haram dinikahi, mengenai talak, tentang warisan, berkaitan dengan ayat-ayat ‘uqubat (sanksi-sanksi hukum) bagi berbagai jenis tindak kejahatan yang dipandang menggoncangkan masyarakat. Disamping itu, diturunkan pula ayat-ayat yang berhubungan dengan peradilan antara lain kewajiban memutuskan hukum secara adil.

Kebanyakan hukum yang ada dalam Al quran bersifat umum dan tidak membicarakan soal–soal juz’i, dengan artian tidak satu persatu dijelaskan secara rinci dalam Al quran. Karena itu,  Al quran membutuhkan penjelasan–penjelasan, di antaranya melalui Hadits. Dapat diketahui bahwa ayat Al quran yang umum seperti masalah shalat, zakat, jihad dan urusan–urasan lainnya, dijelaskan dengan Hadits. Selain itu, untuk menyingkapi persoalan kekinian yang membutuhkan jawaban untuk persoalan ini, maka para ulama menggunakan ijma’ dan qiyas dalam mengambil suatu hukum.

Prinsip-prinsip umum dalam al-Qur’an mewujudkan dua sasaran, pertama, menguatkan kesempurnaan dalam agama Islam sebagaimana yang telah disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat 3. Kedua, menunjukkan keluwesan syariat Islam sesuai dengan segala perkembangan zaman dan tempat sehingga bisa diterapkan di mana saja dan kapan saja.

Berikut ini contoh-contoh ayat al-Qur’an yang terdapat dalam kitabnya Muhammad Sidqi ibn Ahmad Al Burni Abu Haris Al Ghazzi,

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟

Artinya:”…padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…[6]

ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah membolehkan berbagai macam bentuk jual beli dan telah mengharamkan riba. Segala bentuk jual beli yang dibolehkan di dalam Al-Qur’an seperti mudharabah, musyarakah, salam, gadai dan lainnya di perbolehkan, akan tetapi segala sesuatu yang berkaitan dengan riba maka di haramkan.

وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.[7]

Ayat ini telah menjelaskan kaidah mengharamkan memakan harta milik orang secara batil, seperti dengan sumpah dusta, ghosob, mencuri, suap, riba dan lain sebagainya.

Ayat yang lain terdapat didalam QS asy-syura ayat 38;

وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ

Artinya:”…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka…”.

Ayat ini menjelaskan bahwa umat Islam perlu merundingkan urusan mereka tanpa terburu-buru, dan tidak mementingkan pendapat masing-masing dalam setiap masalah yang mendatangi mereka, yakni masalah yang menyangkut masyarakat luas, seperti pengangkatan khalifah, pengaturan negara, pengangkatan pemimpin wilayah, dan hukum-hukum peradilan, demikian pula pada urusan pribadi mereka saling berunding.

Begitu juga dengan yang terdapat dalam surat al-baqarah ayat 228;

وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ

Artinya:”…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf…”

Ayat ini menjelaskan bahwa kaidah secara umum tentang batasan-batasan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara suami isteri.

Kaidah fiqhiyyah yang bersumber dari sunnah

Sunnah merupakan segala yang dinukilkan atau diberitakan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan nabi. Melihat dari pengertian di atas, sunnah dapat dibagi atas: Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah, dan Sunnah Taqririyyah.

Sunnah ada kalanya mutawatir dan ada kalanya ahad. Ulama sepakat bahwa hadits mutawatir dapat  menjadi hujjah. Berkenaan hadits ahad, para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan hadits ahad sebagai hujjah. Namun hadits yang shahih dapat diterima untuk dijadikan hujjah, dan menjadi sumber kaidah.

Rasulullah saw selalu menyampaikan segala sesuatu dengan cara singkat, padat, lugas dan mudah dipahami. Dengan demikian, ucapan beliau banyak menjadi inspirasi dalam lahirnya qawaid fihiyyah.

Ada suatu ketika Rasulullah saw ditanya tentang hukum bentuk-bentuk minuman yang memabukkan, maka Rasulullah menyampaikan,

كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ

Artinya: Setiap yang memabukkan adalah haram dan setiap yang memabukkan adalah khamar. (H.R, An-Nasai, Ahmad, Ibn Hibban, ad-Daraquthni dan ath-Thabarani).

            Hadis ini menjelaskan bahwa apa pun yang memabukkan, menutup akal atau menjadikan seseorang tidak dapat mengendalikan pikirannya walau bukan terbuat dari anggur, maka dia adalah haram. Dengan demikian, minuman apapun, juga zat cair apapun, yang memiliki sifat memabukkan, adalah khamr. Sebab Rasul saw, mengaitkan sebuat khamr itu degan sifatnya yang memabukkan. Jika sifat itu ada maka sebutan khmar berlaku. Sebaliknya, jika sifat itu tidak ada maka sebutan khamr tidak relevan.

Hadits lain menjelaskan bahwa Janganlah memberikan madharat kepada orang lain dan juga diri sendiri, seperti hadis Rasulullah Saw,

عَنْ  أَبِـيْ  سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْـخُدْرِيِّ  رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Artinya:”Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.”

            Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw menolak dharar (mudharat/bahaya) dan dhirar (menimbulkan bahaya) tanpa alasan yang benar. Adapun menimpakan madharat kepada seseorang dengan cara yang benar, maka itu tidak termasuk yang dilarang dalam hadits di atas. Misalnya seseorang yang melanggar hukum-hukum Allah, lalu dihukum sesuai dengan kejahatannya, atau seseorang menzalimi orang lain, lalu orang yang dizalimi menuntut balas dengan adil.

Hadits yang lain, juga menjelaskan bahwa orang muslim harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati, kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram, Seperti hadits Rasulullah saw,

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

            Hadits ini menjelaskan bahwa hukum asal dari persyaratan-persyaratan yang telah disepakati oleh kaum muslimin dalam berbagai akad yang dilaksanakan adalah diperbolehkan. Karena mengandung maslahat dan tidak ada larangan syari’at tentang hal itu. Tentunya, selama syarat-syarat itu tidak menyeret pelakunya terjerumus ke dalam suatu yang diharamkan Allah dan Rasulnya. Apabila mengandung unsur haram sehingga bisa menyerat pelakunya terjerumus dalam perkara yang haram maka syarat-syarat tersebut tidak diperbolehkan.

Kaidah fiqhiyyah yang bersumber dari Atsar sahabat

Kaidah fiqhiyyah yang bersumber dari atsar sahabat dapat dilihat dari seperti perkataan Umar bin Khatab, putusnya hak bergantung pada syarat yang diperbuat;

مقاطع الحق عند الشروط

Perkataan ‘Umar bin Khattab ini pernah terjadi pelanggaran perjanjian yang telah ditentukan oleh kedua pasangan suami isteri, seperti: Seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan ia syaratkan (janjikan) untuk tetap tinggal di rumahnya. Kemudian laki-laki itu akan membawanya pindah. Karena itu mereka mengadukannya kepada khalifah ‘Umar, Umar menyatakan bahwa wanita itu mempunyai hak agar dipenuhi syaratnya. Maka berkata laki-laki tersebut, kalau begini engkau menceraikan kami, maka berkata Umar: Putusnya hak (bergantung) pada syarat.[8]

Keputusan Khalīfah ‘Umar itu menunjukkan bahwa syarat yang dibuat sebelum aqad nikah yang menguntungkan wanita itu tidak bertentangan dengan perkawinan, karena syarat tersebut mengikat, dengan arti kata harus dipenuhi, jika tidak dipenuhi, maka wanita mempunyai hak untuk memfasakh atau membatalkan pernikahannya.

Kaidah fiqhiyyah yang bersumber dari Tabiin

            Salah seorang tabi’in yang terkenal adalah Syuraih bin al-Harits yang berprofesi sebagai qadhi/hakim, beliau menjadi hakim sejak zaman Umar bin Khattab sampai dengan Mu’awiyah bin Sofyan, salah satu yang menjadi kaidah fikih atau perkataan Qadhi Syuraih: sesuatu yang disyaratkan atas dirinya secara sukarela tanpa terpaksa, maka sesuatu itu mengikat atas dirinya.

Dari kaidah ini menjelaskan bahwa dalam setiap transaksi harus sama-sama rela dan tidak ada yang merasa terpaksa melakukannya. Karena kerelaan hati untuk mengadakan transaksi adalah syarat sahnya transaksi.

ijtihad fuqaha` pada furû’ dan juz`iyyât

Ijtihad yang dilakukan oleh para fuqaha adalah dengan menggali kaidah yang menyeluruh dari dalil-dalil syar’I, kaidah-kaidah bahasa arab, logika yang sehat, dan dari menghimpun hukum-hukum fiqih yang mempunyai kesamaan dalam ‘illat penggalian hukum. Jadi seorang ahli fiqih kembali kepada sumber-sumber ini, mencurahkan potensinya, mengumpulkan hukum-hukum yang bersamaan, masalah-masalah yang serupa, mengeluarkan kaidah yang menyeluruh yang mencakup seluruh atau mayoritas hukum di bawahnya. Seperti kaidah al umuru bimaqasidiha yang diambil dari sekumpulan hadits tentang niat.

Ada beberapa contoh kaidah yang merupakan hasil ijtihad para fuqaha yang diambil dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits rasulullah saw,

-      الأمور بمقاصدها

Maksud dari kaidah ini adalah bahwa hukum yang menjadi konsekuensi atas setiap perkara haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari perkara tersebut.[9]bila yang menjadi tujuan atau maksud dari suatu perkara adalah hal yang haram meskipun tampaknya baik maka hukum perkara tersebut haram. Sebaliknya, apabila yang menjadi tujuan atau maksud dari suatu perkara adalah baik meskipun kelihatan biasa-biasa saja maka hukum perkara tersebut adalah halal.

Kaidah ini berasal dari banyak materi fikih, karena di dalam fikih, nilai suatu perbuatan tergantung kepada niatnya. Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau sunnah, adaan atau qadhaan, dalam muamalah apakah niat memberi atau meminjamkan, dalam jinayah apakah kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya. Maka muncul kaidah tersebut di atas, yang diambil dari Al-Qur’an maupun hadis Nabi saw.

Dasar hukum dari kaidah ini adalah hadis Rasulullah saw,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Artinya: Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”[10]

Hadis ini diriwayatkan oleh lima imam yang terkenal lainnya, bahkan imam al-Bukhari menyebutkan hadits ini berkali-kali di dalam kitabnya. Ia memasukkan pembahasan ini dalam masalah iman, wudhuk, shalat, zakat, haji, puasa dan hukum Islam yang lain. Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya hadits ini ditempatkan pada pembuka setiap bab.[11]

Kaidah niat ini juga didasarkan dari hadits-hadits yang lain, seperti,

من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله عزوجل

Artinya: Siapa saja yang berperang dengan tujuan agar agama Allah menjadi luhur, maka ia berada di jalan Allah.”[12]

عن سعد بن ابي وقاص انه اخبره ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال انك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله الا اجرت عليها حتي ماتجعل في فم امراتك

Artinya: “Dari Sa’d bin Abi Waqqas, ia mengabarkan bahwa Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya kamu tidak akan mengeluarkan nafkah yang kamu harapkan mendapat ridha Allah, melainkan pasti kamu diberi pahala, bahkan sesuatu yang kamu masukkan pada mulut isterimu kamu juga mendapat pahala.”[13]

عن ابي مسعود عن النبي صلي الله عليه وسلم قال اذا انفق الرجل علي اهله يحتسبها فهو له صدقة

Artinya: Dari Abi Mas’ud, dari Nabi Saw bersabda: jika seorang lelaki menafkahi keluarganya dengan mengharap ridha Allah, maka baginya pahala sedekah.[14]

Selain hadits-hadits di atas, kaidah ini juga bersumber dari ayat-ayat suci Al-Qur’an, misalnya dalam QS An-Nisa’ ayat 100:

وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلى اللّهِ وَكَانَ اللّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Artinya: Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat ini menunjukkan pentingnya berlaku ikhlas dalam menetapkan tujuan dan keinginan. Begitu juga dengan surat Al-Bayyinah ayat 5;

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.

Surat al-Nisa’ ayat 114:

لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Artinya: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar

            Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadis tersebut secara eksplisit menggambarkan bahwa segala macam bentuk sikap dan aktifitas perbuatan seseorang tidak akan pernah dianggap (berpengaruh) oleh syar’I, kecuali dilandasai dengan niat. Dengan demikian niat adalah syarat sah dari suatu amal, tanpa adanya niat, sebuah amal bagaikan tubuh tanpa jiwa yang tidak ada artinya. Fungsi niat tersebut adalah;

-       Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan

-       Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan

-       Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.

Dari kaidah ini. Ada beberapa bagian (cabang) kaidah yang diperhatikan, yaitu;[15]

-       لا ثواب إلا بالنية (tidak ada pahala kecuali dengan niat), maksud kaidah ini adalah selama perbuatan itu tidak dianggap buruk, jika tidak dengan niat, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala.

-      مالايشترط التعرض له جملة وتفصيلااذاعينه وأخطأ لم يضر

Suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global atau terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan (tidak membatalkan)

-      ومايشترط فيه التعرض فالخطأ فيه مبطل

Suatu amal yang disyariatkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, dalam shalat zhuhur berniat dengan shalat ashar, atau dalam shalat idul fithri berniat dengan idul adhha, dalam puasa arafah berniat dengan puasa asyura. Maka perbuatan itu menjadi batal

Selain itu, ada pula qa’idah-qa’idah yang dikeluarkan oleh mazhab-mazhab fiqh;

  1. Qa’idah dari hanafiyyah

تخصيص العام بالنّية مقبول ديانة لا قتصاد

Artinya :”Pengkhususannya yang umum dengan disertai niat dapat diterima secara hukum berdasarkan agama dan bukan berdasarkan peradilan.”

  1. Qa’idah dari syafi’iyyah

النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعمم الخاص

Artinya :”Niat dalam bersumpah mengkhususkan lafadz yang bersifat umum dan tidak mengumumkan lafadz yang bersifat khusus.”

  1. Qa’idah dari Malikiyyah dan Hambaliyyah

انّ النّية تعمّ الخاصّ وتخصّص العام

Artinya :”Sesungguhnya niat dapat mengumumkan yag khusus dan mengkhususkan yang umum.”

Masih ada kaidah-kaidah turunan dari kaidah al umuru bi maqasidiha tersebut, seperti dalam gambar di bawah ini;

-      اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ

Kaidah ini maksudnya adalah keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan, dasar kaidah ini para ulama mengambilnya dari Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw;

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Artinya:” Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan:[16].

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka buruk (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka buruk itu dosa”.

            Dasar kaidah ini juga diambil dari Hadis Rasulullah saw;

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

Artinya: “Apabila kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat maka buanglah keraguan itu, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Lalu jika ternyata shalatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim 1300)

Hadits ini menegaskan bahwa dalam hal jumlah hitungan yang meragukan, maka yang harus dipegangi adalah jumlah terkecil. Sedangkan jumlah terbesar haruslah dihilangkan sebab hitungan terbesar masih meragukan, sedangkan yang telah yakin adalah hitungan terkecil.[17]

Kaidah ini, menjelaskan bahwa seseorang melakukan suatu amalan harus dilakukan berdasarkan dengan keyakinan. Maka apapun keraguan untuk menghilangkan keyakinan tidak akan diterima.

Dari kaidah di atas, muncul kaidah-kaidah lain, diantaranya adalah sebagai berikut;

اَلْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ

Kaidah menjelaskan bahwa Hukum asalnya, kondisi sekarang tidak berubah dari kondisi sebelumnya, Kaidah bisa dipakai penerapannya dalam suatu keadaan Seseorang yang sahur, namun karena mati listrik dia tidak bisa mendengar adzan sebagai tanda terbit fajar. Kemudian beberapa saat muncul keraguan apakah sudah terbit fajar atau belum. Maka yang dia lakukan adalah dia kembalikan kepada keadaan yang sebelumnya telah dia yakini yaitu بَقَاءُ الَّيْلِ (tetapnya waktu malam), dan dia singkirkan keadaan setelahnya yang masih meragukannya yaitu waktu fajar.
Sebaliknya, seseorang yang ingin berbuka tetapi dia masih ragu apakah matahari sudah terbenam atau belum. Maka hendaknya dia menunda buka puasa sampai yakin akan terbenamnya matahari, karena hukum asalnya adalah tetapnya waktu siang.


اَلأَصْلُ فِيْ أُمُوْرِ الْعَارِضَةِ اَلْعَدَمُ

Kaidah ini menjelaskan bahwa Hukum asal dalam perkara yang baru adalah tidak ada sampai ada bukti. Sebagai contoh dari kaidah ini adalah Dua orang misal si A dan si B, si A berhutang kepada si B. Lalu setelah jatuh tempo, si B menagih si A, tetapi A merasa dia telah melunasinya. Jika A tidak punya bukti bahwa dia telah melunasinya, maka klaim A tidak dianggap karena hukum asalnya masih berhutang (belum lunas) dan klaim A adalah klaim baru. Atau dalam kondisi sebaliknya, tiba-tiba suatu ketika A mengklaim bahwa B telah berhutang kepadanya, sedangkan B merasa tidak berhutang. Maka klaim A juga tidak dianggap karena hukum asalnya belum ada transaksi hutang sebelumnya, sedangkan klaim A adalah klaim baru.

اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ اَلْإِبَاحَةُ حتي يدل الدليل علي التحريم

Kaidah ini menjelaskan bahwa Hukum asal sesuatu adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukan keharamannya. Penerapan kaidah contohnya adalah umpanya ada seekor hewan yang sulit ditentukan keharamannya, karena tidak ditemukan sifat-sifat dan ciri-ciri yang dapat dikategorikan hewan haram, maka hukumnya halal dimakan.

-      المشقة تجلب التيسير

Kaidah ini menjelaskan bahwa kesulitan mendatangkan kemudahan, kaidah ini bersumber dari firman Allah di dalam Al-Qur’an maupun hadits rasulullah saw;

وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِى الدِّيۡنِ مِنۡ حَرَجٍ[18]

Artinya: “dan (Dia) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.

[19]يُرِيۡدُ اللّٰهُ بِکُمُ الۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيۡدُ بِکُمُ الۡعُسۡرَ

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.

لَّيْسَ عَلَى ٱلْأَعْمَىٰ حَرَجٌ وَلَا عَلَى ٱلْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى ٱلْمَرِيضِ حَرَجٌ[20]

Artinya: “Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang).

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا[21]

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya

Bila dipahami dari makna ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya Allah ketika mensyariatkan Islam kepada umat Nabi Muhammad bersifat mudah dan fleksibel, dan tidak akan membebani mereka di luar potensi kemampuan yang dimiliki.

Dasar hukum kaidah tersebut juga diambil dari Hadits Rasulullah Saw,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

Artinya: “Sesungguhnya agama (Islam) mudah, tidak ada seorang pun yang hendak menyusahkan agama (Islam) kecuali ia akan kalah. Maka bersikap luruslah, mendekatlah, berbahagialah dan manfaatkanlah waktu pagi, sore dan ketika sebagian malam tiba.” (HR Bukhari no. 39)

            Kaidah ini dapat diterapkan pada semua ketetapan hukum setidaknya pada tujuh kondisi, yaitu;

  1. Sedang dalam perjalanan (al-safar). Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat Jumat.
  2. Keadaan sakit. Misalnya, boleh tayamum ketika sulit memakai air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat, wanita yang sedang menstruasi.
  3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa menyewa, karena bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau menghancurkan barang orang lain karena dipaksa.
  4. Lupa (al-nisyan). Misalnya, seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi, tetapi bukan pura-pura lupa.
  5. Ketidaktahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi. Seorang wakil tidak tahu bahwa yang mewakilkan kepadanya dalam keadaan dilarang bertindak hukum, misalnya pailit, maka tindakan hukum si wakil adalah sah sampai dia tahu bahwa yang mewakilkan kepadanya dalam keadaan mahjur 'alaih (dilarang melakukan tindakan hukum oleh hakim). Dalam contoh ini ada qaidah lain bahwa ketidaktahuan tentang hukum tidak bisa diterima di negeri Muslim, dalam arti kemungkinan untuk tahu telah ada. "Tidak diterima di negeri Muslim alasan tidak tahu tentang hukum Islam"
  6. Kesulitan Umum (Umum al-Balwa), Misalnya kebolehan Bay al-salam (uangnya dahulu, barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati sekadar yang dibutuhkan dalam pengobatan. Percikan air dari tanah yang mengenai sarung untuk shalat.
  7. Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh). Misalnya, anak kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan pelaku ini disebut unsur pemaaf, termasuk di dalamnya keadaan terpaksa atau dipaksa.

Dari kaidah ini juga melahirkan beberapa kaidah cabang lainnya, seperti;

إِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ اِتَّسَعَ

Kaidah ini menjelaskan bahwa jika kondisi sempit maka diberikan kelapangan, Contohya, disyariatkannya shalat qashar untuk seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan demikian pula shalat khauf ketika perang dengan tata caranya yang berbeda dengan shalat pada umumnya.

الرخسصة لاتناط با لمعاصي

Kaidah ini menjelaskan bahwa keringan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan, kaidah ini digunakan untuk menjaga agar jangan sampai keringanan-keringanan di dalam hukum tidak disalah gunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa), misalnya orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat.[22]

اَلضَّرَرُ يُزَالُ

Kaidah ini memiliki sudut pandang yang sedikit mirip dengan kaidah sebelumnya. Kaidah اَلضَّرَرُ يُزَالُ berkaitan dengan kemudharatan yang terjadi di antara para hamba, dimana kemudharatan, kesulitan, dan sejenisnya sebisa mungkin dihilangkan di antara para hamba. Sedangkan kaidah اَلْمَشَقَّةُتَجْلِبُالتَّيْسِيْرَ berkaitan dengan hak Allah, dimana Allah memberikan kemurahan apabila ada kesulitan-kesulitan yang menimpa hamba-Nya maka Allah akan memberikan kemudahan-kemudahan.

Kaidah ini diambil dari ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw, seperti surat al-Baqarah ayat 173, Al-baqarah 195,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Kaidah ini sangat berperan dalam pembinaan hukum Islam, terutama untuk menghindari berbagai kemudharatan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, hukum Islam membolehkan pengembalian barang yang telah dibeli karena cacat, mengajarkan khiyar dalam jual beli, mengajarkan perwalian untuk membantu orang yang tidak cakap, mengajarkan hak syuf‟ah bagi tetangga. Hukum Islam mengajarkan adanya hukum qishash, hudud, kaffarat, ganti rugi atau diyat, membolehkan penguasa memerangi kaum bughat (pemberontak) dan lain-lain. Hukum Islam juga mengajarkan kebolehan perceraian ketika sangat diperlukan. Umpamanya terjadi syiqaq yang tidak dapat lagi untuk didamaikan.

Dari kaidah ini lahir kaidah-kaidah yang lainnya, seperti,

-      الضرورات تبيح المحظورات

Kaidah ini menjelaskan bahwa dalam keadaan darurat membolehkan sesuatu yang sebelumnya haram. Sebagai contoh, seseorang yang tersesat di tengah hutan tanpa bekal makanan atau kehabisan bekal makanan. Agar dia tetap bertahan hidup, dia harus tetap makan makanan, namun yang dijumpai hanya babi dan tidak menjumpai makanan halal lainnya. Maka pada saat itu diperbolehkan baginya makan daging babi tersebut sekadar kebutuhannya.

دَرْءُ الْمفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Kaidah ini menjelaskan bahwa menolak kemudharatan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan. Kaidah ini diterapkan apabila maslahat dan mudharatnya sama, tidak ada dari keduanya yang lebih besar. Maka didahulukan untuk meninggalkannya demi menghindarkan diri dari mudharat yang akan timbul walaupun harus mengorbankan maslahat yang bisa diraih.

اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ   -

            Kaidah menjelaskan bahwa adat adalah suatu perkara yang dilakukan oleh satu masyarakat secara berulang-ulang sehingga menjadi suatu tradisi. Dasar kaidah ini diambil dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi Saw, seperti surat Al-‘Araf ayat 199,

خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ

Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Dasar hukum didalam Hadits yaitu:

مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ

artinya: “Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk” (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud)[23]

            Para ulama Ushul Fiqh sependapat bahwa al-‘urf dipahami sebagai sesuatu yang baik dan menjadi kebiasaan masyarakat. Oleh sebab itu, ayat ini dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga menjadi suatu kebiasaan di dalam masyarakat.

Sudah banyak sekali aturan hukum Islam atau fiqih yang ditetapkan dengan mempertimbangkan adat kebiasaan ini. Umpamanya, jual beli ta’athi (mengambil barang atau benda, kemudian memberikan sejumlah uang atau alat tukar lainnya yang telah diketahui), penempelan atau pelabelan harga barang seperti yang sering dilakukan di mall-mall atau super market.

Dari kaidah ini lahir kaidah cabang lainnya, seperti;

المعرف و عرفا كالمشروط شرطا

Sesuatu yang telah dikenal dengan urf seperti yang di syaratkan dengan suatu syarat

المعروف بين التّجّار كالمشروط بينهم

Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka

التعيين بالمعرف كالتعيين بالنص

“Yang sudah tetap berdasarkan kebiasaan sama halnya dengan yang sudah tetap berdasarkan nash”.

Kesimpulan

Qawaid fiqhiyyah adalah pokok fiqh yang bersifat universal yang mengandung hukum-hukum syara’ yang bersifat umum dalam berbagai bab fiqh tentang peristiwa-peristiwa yang masuk di dalam ruang lingkupnya.

Kepentingan kaidah fiqh dari segi penggalian dan penetapan hukum Islam, mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan hukum yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.

Sumber kaidah fiqhiyyah itu bisa saja bersumber dari Al-Qur’an, Hadits Nabi saw, atsar sahabat, tabi’in maupun hasil ijtihad fuqaha yang mereka ambil dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi Saw.

Dari hasil ijtihad para puqaha tersebut telah melahirkan kaidah-kaidah pokok serta turunannya, dan di kalangan mazhab juga telah melahirkan kaidah-kaidah dikalangan mereka. Walaupun sudah banyak kaidah-kaidah yang telah dibuat para fuqaha masih tidak tertutup kemungkinan peluang para ulama sekaran untuk membuat kaidah dalam rangka mencari solusi-solusi permasalahan yang kontemporer.

           

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhari. th. Shahih al-BukharI, Juz I Beirut: Dar al-Qalam

Al-Bukhari, Imam. 1994. shahih al-Bukhari, Jilid I, bab: Shalat subuh berjamaah. Beirut: Dar Al-Fikr

al-Tirmizi, Imam. 2000. Sunan al-Tirmizi, Jilid II, No. Hadis 1424. Al-Qahirah: Dar al-Hadis

al-Zarqa, Muhammad. 1989. Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Cet II. Damaskus: Dar al-Qalam

Az-zuhaili, Dr. Muhammad. 2006. Al-Qawa’id fiqhiyyah wa tatbiqatuha fil mazahib al-arba’ah, Juz I. Damsaq: Darul Fikri

Effendi, Prof. Dr. H. Satria, M. Zein, MA. 2005. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana

Haidar, Ali. 1989. Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-Ahkam. Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah

Hosen, Ibrahim. 2003. Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, Cetakan Pertama, Cet.Ke-1. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus

ibn Hajar al-`Asqalani, Syihabuddin Ahmad. 1959. Fath al-Bari Syarh al-Bukhari, Juz I . Mesir: Musthafa al-Babiy al-Halabiy,

Sidqi, Muhammad bin Ahmad al Burni Abu Haris al-ghazzi. 1997. Qawa’idul fiqhiyyah, jilid I, Riyadh: Maktabah At-taubah

Suparmin Sudirman, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah Al-Khassah Fil Al-Ibadah Wa Tatbiqatihah, Jurnal Al-Irsyad, Vol. III, Juli- Desember 2013

Zahrah, Abu, 1985. Ushul al-Fiqh, Lebanon: Dar al-Fikr al-‘arabi

 


[1] Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Lebanon: Dar al-Fikr al-‘arabi, 1985), h. 10-11

[2] Muhammad Sidqi bin Ahmad al Burni Abu Haris al-ghazzi, Qawa’idul fiqhiyyah, jilid I, (Riyadh: Maktabah At-taubah, 1997), h. 50

[3]Dr. Muhammad Az-zuhaili, Al-Qawa’id fiqhiyyah wa tatbiqatuha fil mazahib al-arba’ah, Juz I,(Damsaq: Darul Fikri, 2006), h. 29

[4] Sudirman Suparmin, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah Al-Khassah Fil Al-Ibadah Wa Tatbiqatihah, Jurnal Al-Irsyad, Vol. III, Juli

-Desember 2013, h. 91.

[5] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, MA, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 124

[6] Al-Baqarah ayat 275

[7] Al-Baqarah ayat 188

[8] 7 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2003), Cet.Ke-1, h. 272

[9] Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, t. Th.), h. 17. Lihat pula Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989), Cet II, h. 47

[10] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Qalam, t. th.), Juz I, h. 21

[11] Syihabuddin Ahmad ibn Hajar al-`Asqalani, Fath al-Bari Syarh al-Bukhari, (Mesir: Musthafa al-Babiy al-Halabiy, 1959), Juz I, h. 12

[12] Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz I, h. 43

[13] Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz I, h. 22

[14] Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz I, h. 21

[15] Dr. H. Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015), h.65

[16] Q.S Yunus ayat 36

[17] Duski Ibrahim, Al-Qawa’id al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fiqih, (Palembang: CV Amanah, 2019), h. 57

[18] Q.S al-Hajj ayat 78

[19] Q.S al-Baqarah ayat 185

[20] Q.S Al-Fath ayat 17

[21] Q.S Al-Baqarah ayat 286

[22] Dr. H. Toha Andiko, M.Ag, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011), h. 107

[23] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki Press,2010).hlm.209

Hubungi Kami

WhatsApp Image 2021-10-21 at 11.54.49.jpeg

Pengadilan Agama Rangkasbitung

Jalan Jendral Sudirman KM.03 Narimbang Mulya, Rangkasbitung, Lebak-Banten

Telp: (0252) 201533 | Web:pa-rangkasbitung.go.id
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Link Sosial Media:

    whatsapp-png-image-9.png

Pengadilan Agama Rangkasbitung@2021