HAK MANTAN ISTRI MENDAPATKAN SEBAGIAN GAJI SUAMI PNS
oleh:
Fahadil Amin Al Hasan
Pasangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau pasangan yang suaminya PNS, maka terhadapnya terikat ketentuan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Pasal 8 ayat (1) ketentuan tersebut menjelaskan bahwa apabila perceraian terjadi atas kehendak suami yang PNS maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan mantan istri dan anak-anaknya. Artinya, jika perceraian itu atas inisiatif suami atau cerai talak, maka mantan suami wajib memberikan sebagian gajinya kepada mantan istri dan anak-anaknya. Adapun mengenai besaran bagiannya dijelaskan pada Pasal 8 ayat (2) yang menyebutkan bahwa pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk PNS yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas istrinya, dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya. Khusus bagian istri sebagaimana dijelaskan pada Pasal 8 ayat (7) bahwa haknya dibatasi sampai ia bekas istri menikah lagi.
Lahirnya peraturan ini dilatarbelakangi bahwa pada dasarnya PNS adalah unsur aparatur negara serta abdi masyarakat yang harus menjadi teladan bagi masyarakat dalam hal tingkah laku serta ketaatan kepada peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, agar kewajibannya sebagai aparatur pemerintah terlaksana dengan baik, maka kehidupan PNS harus ditunjang oleh kehidupan keluarga harmonis. Ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 ini sejalan dengan ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menganut azas monogami dan kekal. Namun untuk PNS berlaku ketentuan khusus, jika seorang PNS hendak mengajukan perceraian kepada istrinya, maka ia harus menjalankan kewajiban yang ditimbulkan dari perceraian yang dilakukannya tersebut.
Namun pada faktanya, banyak PNS yang telah menceraikan istrinya, mereka tidak menjalankan ketentuan dan kewajiban yang terdapat dalam peraturan ini. Oleh karena itu, maka untuk menjamin hak-hak perempuan, khususnya hak istri dari PNS, maka Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA Nomor 2 Tahun 2019 yang mengatur bahwa terhadap pembagian gaji seorang PNS yang menceraikan istrinya, maka harus dinyatakan dalam putusan secara declaratoir yang pelaksanaannya dapat dilakukan melalui instansi tempat PNS bekerja.
Ketentuan ini ditetapkan atas dasar pelaksanaan PERMA Nomor 3 Tahun 2017 untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian. Selain itu, ketentuan ini merupakan bentuk penegasan atas kewajiban yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.
Dalam pelaksanaannya, pencatutan kewajiban suami untuk memberikan sebagian gajinya kepada mantan istri itu harus berdasarkan pada kehendak dari mantan istri. Hakim tidak dapat langsung menetapkan kewajiban tersebut dengan tanpa adanya permintaan dari istri. Hal tersebut disebabkan karena pada dasarnya hakim itu bersifat pasif, tidak boleh memperluas sengketa, dan tidak boleh ultra petita Namun demikian, apabila mantan istri tidak menuntut atas pencatutan kewajiban sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, maka hakim dapat memberikan hak-hak istri lainnya, seperti mut’ah, nafkah iddah, dan nafkah anak meskipun tidak dimintanya. Kebolehan ini disebabkan karena terhadap kewajiban-kewajiban tersebut melekat sebagai bagian dari perkara perceraian yang telah di atur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Kompilasi Hukum Islam jo Yurisprudensi Putusan yang terkait dengan pemberian akibat perceraian secara ex officio hakim.
Ketentuan dalam SEMA ini telah diikuti oleh beberapa putusan pengadilan agama sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor 830/Pdt.G/2022/PA.Srh, Putusan Nomor 187/Pdt.G/2022/PA.Bhn, Putusan Nomor 262/Pdt.G/2022/PA Bb, Putusan Nomor 394/Pdt.G/2022/PA.Sglt, dan Putusan Nomor 5039/Pdt.G/2022/PA.Sor.