JAMINAN PEMENUHAN NAFKAH ANAK MELALUI PERMOHONAN SITA TERHADAP HARTA MILIK SUAMI
oleh:
Fahadil Amin Al Hasan
Pembaruan terhadap hukum keluarga di Indonesia untuk menjamin pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian dinilai lebih lambat daripada negara-negara mayoritas muslim lainnya, seperti Turki, Mesir, ataupun Malaysia (Nurlaelawati, E., 2010). Di Malaysia misalnya, negara tersebut memiliki sebuah lembaga yang bernama Bahagian Sokongan Keluarga. Lembaga ini berperan untuk membantu Mahkamah Syari’ah untuk memastikan bahwa putusan tentang nafkah tersebut dapat dijalankan. Sejak putusan perintah nafkah dikeluarkan Hakim, maka putusan tersebut akan dikuasakan dan dilaksanakan kepada Bahagian Sokongan Keluarga. Jika mantan suami tidak mau menjalankan putusan tersebut, maka lembaga ini melalui salah satu unitnya yang bernama Unit Khidmat Nasihat dan Perundangan, akan memanggil mantan suami tersebut untuk dinasihati. Bahkan tidak sedikit diberikan juga ancaman akan dilaporkan ke Pengadilan. Selanjutnya jika mantan suami tetap tidak menjalankan kewajibannya, maka unit ini akan mengirimkan tuntutan ke Pengadilan mewakili pihak istri dan anak untuk memaksa pihak mantan suami memberikan nafkah sebagaimana yang diputuskan oleh Hakim, seperti melakukan permohonan penyitaan atau pemotongan gaji. Jika harta tersebut ada, maka hartanya itu dapat untuk kemudian dijual. Selain itu, unit ini juga mempunyai kuasa untuk memenjarakan pihak suami. Selanjutnya jumlah nafkah terutang suami akan disampaikan kepada Unit Penguatkuasaan dan Pelaksanaan Perintah. Selain kedua unit ini, terdapat pula Unit Pengurusan Dana, yaitu unit yang dapat memberikan nafkah terlebih dahulu kepada anak dan bekas istri sebesar tuntutan nafkah yang diputuskan oleh Hakim yang nanti akan diganti ketika mantan suami telah menunaikan kewajibannya (Naim, M., 2021).
Di Indonesia mekanisme penjaminan terhadap pemenuhan hak-hak anak berupa nafkah pasca perceraian masih belum diatur secara jelas, karenanya banyak putusan pengadilan yang hanya menang dalam kertas, ia tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini disebabkan karena sulitnya pelaksanaan eksekusi yang harus melalui pengadilan di mana mekanismenya cukup rumit dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan pada beberapa kasus biaya yang harus dikeluarkan untuk mendaftarkan eksekusi jauh lebih mahal daripada hak yang kemungkinan akan diperolehnya. Selain itu, pelaksanaan eksekusi pun akan sulit dilakukan karena tidak adanya jaminan atas harta yang dimiliki oleh suami.
Berdasarkan alasan tersebut, maka lahirlah ketentuan yang terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2021. Pada salah satu ketentuannya dijelaskan bahwa terhadap pembebanan nafkah anak, istri dapat mengajukan permohonan penetapan sita terhadap harta milik suami sebagai jaminan pemenuhan nafkah anak di masa mendatang. Mekanisme penetapan tersebut harus didasarkan pada permohonan istri yang diuraikan secara rinci dalam posita dan petitum gugatan, baik dalam konvensi, rekonvensi, ataupun gugatan tersendiri. Ketentuan dalam SEMA ini merupakan upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Agung agar pemenuhan terhadap hak-hak perempuan dan anak berupa nafkah yang seharusnya diberikan oleh mantan suami dapat dijalankan dengan baik. Sehingga, putusan yang telah ditetapkan oleh pengadilan benar-benar menjadi putusan yang dapat dilaksanakan.
Hal terpenting dalam pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian ialah perlu dibangunnya interkoneksi sistem dengan lembaga-lembaga di luar pengadilan yang meliputi lembaga eksekutif, baik pada tingkat pusat maupun daerah, serta dengan pihak swasta. Interkoneksi antar lembaga tersebut merupakan bagian dari ikhtiar untuk menjadikan putusan-putusan pengadilan dalam hal pemenuhan dan jaminan hak-hak perempuan dan anak agar dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat. Adanya intervensi lembaga-lembaga di luar pengadilan akan memudahkan dan menjadi daya paksa tersendiri bagi pelaksanaan putusan pengadilan terkait hak-hak perempuan dan anak.