PENGADILAN AGAMA RANGKASBITUNG KELAS 1B.png

SIWAS

Aplikasi yang disediakan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, untuk melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran yang terjadi di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia atau Peradilan dibawahnya.
SIWAS

SIPP

Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), merupakan aplikasi administrasi dan penyediaan informasi perkara baik untuk pihak internal pengadilan, maupun pihak eksternal pengadilan. Pengunjung dapat melakukan penelusuran data perkara (jadwal sidang sampai dengan putusan) melalui aplikasi ini.
SIPP

Direktori Putusan

Direktori Putusan adalah sistem berbasis situs web yang dimiliki oleh Kepaniteraan Mahkamah Agung untuk mempublikasikan putusan Mahkamah Agung dan seluruh putusan pengadilan dari empat lingkungan peradilan baik tingkat pertama maupun tingkat banding di seluruh Indonesia.
Direktori Putusan

Gugatan / Permohonan Mandiri

Untuk Pelayanan yang lebih mudah, cepat dan biaya ringan, Ditjen Badan Peradilan Agama menyediakan Layanan Pembuatan Gugatan / Permohonan secara mandiri.
Gugatan / Permohonan Mandiri

Indeks Kepuasan Masyarakat

Indeks Kepuasan Masyarakat

11 Aplikasi Badilag

11 Aplikasi Inovasi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.
11 Aplikasi Badilag

Ketua Mahkamah Agung

"Jika kita tidak mampu menjadi contoh yang baik bagi orang lain, janganlah menjadi sebab untuk terjadinya keburukan, karena satu keburukan akan merusak seribu kebaikan."
Ketua Mahkamah Agung

Ketua Mahkamah Agung

"Setiap Keberhasilan Memerlukan Proses yang Panjang, Usaha, dan Kerja Keras."
Ketua Mahkamah Agung

JADWAL SIDANG

SIPP WEBPengadilan Agama memberikan kemudahan akses informasi jadwal sidang untuk para pihak berperkara.

 

E-COURT

imagesLayanan pendaftaran perkara, taksiran biaya perkara, pembayaran dan pemanggilan secara elektronik.

 

GUGATAN MANDIRI

gugatanmandiriUntuk pelayanan yang lebih mudah, cepat, dan biaya ringan, Ditjen Badan Peradilan Agama menyediakan layanan pembuatan gugatan.

SIWAS

SiwasJika anda menemukan pelanggaran "Kode Etik" di lingkungan Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya, maka laporkan melalui siwas.

BIAYA PERKARA

download 5Estimasi panjar biaya yang dibayar oleh pihak yang berperkara dalam proses penyelesaian suatu perkara.

 

ACO

logo acoAkses cctv untuk memantau kegiatan pengadilan.

 

 

 

 

WhatsApp Image 2021 04 23 at 10.29.17

WhatsApp Image 2021 04 23 at 14.07.54

WhatsApp Image 2021 04 23 at 14.18.01

WhatsApp Image 2021 04 23 at 14.13.07

WhatsApp Image 2021 04 23 at 14.13.071

WhatsApp Image 2021 04 23 at 14.13.08

 

Zona Integritas

 

LKE_ZI.jpg

 

 

 

Perlindungan Hukum Hak anak akibat perceraian

dalam proses mediasi di Pengadilan Agama

oleh: Gushairi, S.H.I, MCL

(Hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung)

  1. A.Pendahuluan

Perceraian selama ini sering dipahami hanya sebagai pemutusan perikatan antara laki-laki dan perempuan. Padahal disitu ada hubungan yang erat antara orang tua dan anak. Namun anehnya saat terjadi perceraian, pada umumnya yang dipermasalahkan hanya pemutusan ikatan hukum antara suami dan isteri tersebut tanpa mempertimbangkan ada kepentingan anak yang terancam, khususnya menyangkut hak asuh anak dan hak nafkah anak.

Padahal dengan adanya pemutusan hubungan perkawinan maka keluarga tersebut kemudian menjadi terpisah. Di sinilah sebenarnya titik krusial dari perceraian tersebut. pertanyaan yang tidak sederhana adalah bagaimana kelanjutan hak-hak anak dan/ atau nasib anak, bukan hanya nasib orang tua seperti nafkah isteri dalam masa iddah, mut’ah maupun pembagian harta bersama. Dengan paradigma seperti ini maka kepastian hukum mengenai pemeliharaan dan nafkah anak menjadi lebih terjamin.

Istilah pemeliharaan anak dijumpai dalam pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Setelah anak tersebut mencapai umur 12 tahun maka dia diberikan kebebasan memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya.

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan Anak yang menegaskan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.

Anak-anak memiliki hak hidup, hak pendidikan, hak tumbuh kembang yang baik, hak nafkah, hak asuh dan hak lainnya, semua hak tersebut harus didapatkan oleh seorang anak apakah orang tuanya masih hidup bersama maupun telah berpisah.

Akan tetapi, pada umumnya sekarang jika terjadi perceraian hak asuh dan nafkah anak sering terabaikan oleh kedua orang tuanya. Seharusnya negara harus ambil bagian dalam proses ini untuk mencegah terjadinya penelantaran terhadap hak-hak anak melalui peraturan-peraturan yang dibuat.

Pada dasarnya hal ini bisa dicegah atau diantisipasi melalui pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama, Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator sesuai dengan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 Tahun 2016.

Akan tetapi, dalam proses pelaksanaan mediasi tersebut belum bisa sepenuhnya berjalan dengan baik karena disebabkan mediator sebagai salah satu pranata penegak hukum tidak mengkondisikan agar permasalahan hak asuh dan nafkah anak ikut menjadi bagian dari penyelesaian sengketa perkawinan mereka secara utuh. Hal ini bisa saja ditambahkan karena sebagian besar gugatan perceraian yang diajukan oleh pasangan suami isteri yang mempunyai anak dibawah umur 21 tahun, tidak menyertakan masalah hadhanah sebagai bagian dari penyelesaian sengketa perkawinannya sehingga mediator hanya fokus kepada perceraian saja, karena beranggapan bisa ultra petita (memediasi di luar permintaan) jika membahas hak-hak anak dalam proses mediasi.

Oleh karena itu, penulis akan membuat tulisan yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor penyebab tidak optimalnya perlindungan hukum terhadap anak akibat perceraian dalam proses mediasi di Pengadilan Agama.

  1. B.Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:

  1. Bagaimana Konsep mediasi dalam pandangan Hukum Islam?
  2. Bagaimana Konsep mediasi di Pengadilan Agama Indonesia?
  3. Bagaimana Perlindungan Hukum hak anak akibat perceraian dalam proses mediasi di Pengadilan Agama?
    1. C.Pembahasan
    2. Konsep Mediasi dalam Islam

Al-qur’an sebagai sumber hukum Islam telah mengatur berbagai cara untuk menangani konflik di dalam hubungan antar manusia. Penyelesaian konflik itu dilakukan untuk menegakkan keadilan yang ditangani melalui lembaga peradilan (al-qadha) dan diluar pengadilan (out of court settlement). Mediasi di dalam Islam, lebih familiar dikenal dengan sebutan ishlah, merupakan konsep yang dijelaskan di dalam al-Qur’an sebagai media dalam menyelesaikan konflik yang dapat menghilangkan dan menghentikan segala bentuk permusuhan dan pertikaian antar manusia. Hal ini di dasarkan dalam Al-Qur’an Surat al-Hujarat ayat 9;

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱقْتَتَلُوا۟ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنۢ بَغَتْ إِحْدَىٰهُمَا عَلَى ٱلْأُخْرَىٰ فَقَٰتِلُوا۟ ٱلَّتِى تَبْغِى حَتَّىٰ تَفِىٓءَ إِلَىٰٓ أَمْرِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا بِٱلْعَدْلِ وَأَقْسِطُوٓا۟ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِين

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.[1]

Kemudian Firman Allah dalam QS al-Hujarat ayat 10;

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.

Kedua Ayat di atas merupakan landasan dan sumber penyelesaian konflik yang terjadi di antara orang-orang yang bersengketa, yaitu apabila mereka terlibat konflik selesaikanlah dengan damai. Cara ishlah ini kemudian berkembang menjadi mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dewasa ini dipraktikan pengadilan di Indonesia melalui mediasi.

Kata Islah menurut Al-Thabari dan al-Zamakhsyari mempunyai arti mengkondisikan sesuatu pada keadaan yang lurus dan mengembalikan fungsinya untuk dimanfaatkan.[2]

Definisi ini sejalan yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah aal Tuwaljiri, yang mengatakan Islah merupakan bentuk perdamaian di antara para pihak yang bersangkutan untuk melakukan penyelesaian pertikaian dengan jalan baik-baik dan damai, sehingga dengan adanya perdamaian dapat menjernihkan hati dan menghilangkan kedengkian.[3]

Sedangkan kata islah menurut syara’ ialah;

الصلح في الشرع: عقد ينهي الخصومة بين المتخاصمين ويسمي كل واحد من المتعاقدين مصالحا.

Artinya:”Ishlah menurut istilah syara’ adalah suatu aqad dengan maksud mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang yang saling bersengketa dan orang yang melakukan akad itu disebut mushalihan, yaitu orang yang melakukan islah”.[4]

Istilah lain selain islah adalah Tahikim. Konsep Tahkim ini dalam terminologi fikih ialah adanya dua orang atau lebih yang meminta orang lain agar diputuskan perselisihan yang terjadi di antara mereka dengan hukum syar’i.[5].

Menurut catatan sejarah, keberadaan lembaga tahkîm telah dikenal sejak jauh sebelum Islam datang. Hal ini terlihat dari catatan sejarah bahwa orang-orang Nasrani yang apabila diantara mereka mengalami perselisihan, maka mereka akan mengajukan perselisihan tersebut kepada Paus sebagai pemimpin terpercaya mereka untuk menyelesaikan perselisihan secara damai.

Tahkim juga dilakukan orang-orang Arab sebelum kedatangan Islam di tanah Arab. Perselisihan dan pertikaian yang terjadi diantara mereka biasanya diselesaikan dengan menggunakan sebuah lembaga Tahkîm. Pada umumnya apabila terjadi perselisihan di antara suku-suku Arab, maka kepala suku yang bersangkutan mereka pilih untuk pelaksana hakam-nya. Sedangkan jika perselisihan yang terjadi bukan pada perorangan, akan tetapi antar suku Arab maka yang diangkat sebagai hâkam adalah kepala suku lain yang tidak terlibat sengketa tersebut, serta dipandang memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya.[6]

Praktik perdamaian dalam penyelesaian perkara juga perah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, dalam segala permasalahan baik Nabi sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya. Hal ini dapat ditemukan dalam catatan sejarah pada peristiwa saat peletakan Hajar Aswad (batu hitam pada sisi ka’bah) dan pada peristiwa perjanjian Hudaibiyah. Pada peristiwa peletakan kembali batu Hajar Aswad setelah melalui perehapan dan perjanjian damai Hudaibiyah memiliki nilai dan strategi resolusi konflik, terutama dalam proses pelaksanaan mediasi dan negosiasi, sehingga kedua peristiwa tersebut memiliki perspektif yang sama yaitu mewujudkan perdamaian pada pihak yang berkonflik.[7]

Mekanisme mediasi juga telah dinyatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Turmizi, yakni;

عن عمرو بن عوف المزني رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: الصلح جائز بين المسلمون الا صلحاحرم حلالا او احل حراما (رواه الترمذي)

Artinya:”Dari Amar bin Auf Al Muzanni ra bahwa Rasulullah saw bersabda; antara sesame muslim boleh mengadakan perdamaian kecuali perdamaian yang mengaramkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan setiap muslim di atas syaratnya masing-masing kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. (H.R Turmizi)[8]

Dalam Al-Qur’an, khusus mengenai sengketa suami isteri juga ditekankan keharusan adanya ishlah di antara mereka jika mereka bersengketa yang dalam hal ini lebih dikenal dengan konsep Tahkim. Tahkim atau al-Hakam dalam istilah bahasa Arab dapat diartikan dengan pendamai, penengah dan waasit. Hal ini sebagiamana firman Allah swt dalam surat an-Nisa ayat 35, yaitu:

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَٱبْعَثُوا۟ حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِۦ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَآ إِن يُرِيدَآ إِصْلَٰحًا يُوَفِّقِ ٱللَّهُ بَيْنَهُمَآ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

Artinya:”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”

            Dalam ayat lain, Allah swt juga menjelaskan dalam surat an-nisa ayat 128 yaitu sebagai berikut;

وَإِنِ ٱمْرَأَةٌ خَافَتْ مِنۢ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَٱلصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ ٱلْأَنفُسُ ٱلشُّحَّ ۚ وَإِن تُحْسِنُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Artinya:Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”

            Dilihat dari asbabun nuzul ayat di atas, ayat tersebut diturunkan berkaitan erat dengan kisah Saudah binti Zam’ah, salah satu isteri Rasulullah Saw di saat ia mencapai usia lanjut, dimana Rasulullah Saw hendak menceraikannya. Lalu Saudah binti Zam’ah mengadakan kesepakatan dengan memberikan jatah harinya kepada Aisyah sebagai tawaran asalkan ia tidak diceraikan. Kemudian Rasulullah saw menerima tawaran tersebut dan menarik niatnya untuk menceraikan Saudah binti Zam’ah.[9]

            Dari pemaparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa Islam memberikan konsep untuk menghadapi persengketaan yang terjadi pada pasangan suami isteri demi menjaga keutuhan rumah tangga bersama dan tentunya juga terhadap perlindungan hukum hak-hak anak jika betul-betul rumah tangga tersebut tidak bisa dipertahankan lagi. Dalam menjalani bahtera kehidupan rumah tangga, tidak menutup kemungkinan akan adanya perbedaan sikap dan pendapat yang dapat berujung pada sebuah permasalahan keluarga termasuk hak asuh dan nafkah anak. Oleh karena itu, Islam memberikan rambu-rambu dan memerintahkan umatnya untuk selalu berusaha menghindari konflik dalam keluarga. apabila terjadi konflik keluarga, perdamaian merupakan jalan utama yang harus ditempuh selama tidak melanggar ketentuan dalam syari’at.

  1. Konsep mediasi di Pengadilan Agama Indonesia

Mediasi di Pengadilan rintisannya dimulai dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang permberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama dalam menerapkan Lembaga Damai sebagaimana diatur dalam pasal 130 HIR dan Pasal 154 RB.g. pasal 130 HIR dan 154 RBg sebagaimana diketahui mengatur tentang lembaga perdamaian dan mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa.

Kemudian SEMA ini disempurnakan oleh Mahkamah Agung dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pada tahun 2008, Perma No. 2 Tahun 2003 diganti dengan Perma Nomor 1 Tahun 2008, dalam bagian menimbang PERMA ini disebutkan bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan prosedur mediasi di Pengadilan berdasarkan PERMA No. 2 Tahun 2003, ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Perma tersebut sehingga perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan.

Dalam Perma No 1 Tahun 2008, sifat wajib mediasi dalam proses berperkara di Pengadilan lebih ditekankan lagi, sementara Pasal 2 ayat (4) Perma No. 2 Tahun 2003 menyatakan bahwa Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara tersebut.

Setelah enam tahun berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2008, kemudian Mahkamah Agung RI menerbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2016, pada prinsipnya, di berbagai Peraturan Mahmakah Agung terkait prosedur mediasi di Pengadilan, baik di dalam Perma Nomor 2 Tahun 2003, Perma Nomor 1 Tahun 2008 maupun Perma Nomor 1 Tahun 2016, terdapat empat jenis perdamaian yang diakomodir oleh Pengadilan, yaitu;

  1. Perdamaian melalui mediasi wajib (wajib diperintahkan oleh Hakim Pemeriksa perkara dan wajib dilakukan oleh para pihak sebelum hakim memeriksa perkara untuk semua perkara perdata selain perkara yang dikecualikan, jangka waktunya 30 hari kerja dengan perpanjangan 30 hari kerja. Wajib dibantu oleh mediator hakim maupun mediator nonhakim bersetifikat. Pada saat Hakim telah memerintahkan dilakukan mediasi, maka proses persidangan ditudna selama jangka waktu mediasi).
  2. Perdamaian melalui mediasi sukarela pada tahap pemeriksaan perkara (dilakukan setelah para pihak tidak berhasil mencapai perdamaian dalam mediasi wajib, maka proses berperkara dilanjutkan dengan pembacaan gugatan hingga hakim tingkat pertama menjatuhkan putusan. Mediasi sukarela pada tahap pemeriksaan perkara dilakukan pada rentang waktu antara setelah pembacaan gugatan hingga hakim belum menjatuhkan putusan. Diajukan atas kesepakatan bersama para pihak kepada Hakim pemeriksa perkara. Atas permintaan mediasi sukarela, hakim pemeriksa perkara wajib menunda pemeriksaan selama 14 hari kerja).
  3. Perdamaian melalui kesepakatan perdamaian sukarela pada tahap upaya hukum (dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama/sukarela antara para pihak setelah dijatuhkan putusan oleh pengadilan tingkat pertama yang pada pokoknya para pihak sepakat untuk mengakhiri sengketa dengan mengesampingkan putusan pengadilan tingkat pertama atau tingkat yang lebih rendah melalui penerbitan Akta Perdamaian oleh Pengadilan tingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali).
  4. Perdamaian di luar pengadilan dengan atau tanpa bantuan mediator bersetifikat (negosiasi maupun mediasi) yang akan dimintakan untuk dikuatkan dalam Akta Perdamaian di Pengadilan.

Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan sebagai pengganti Perma Nomor 1 Tahun 2008 mengatur beberapa hal baru, seperti:

  1. Pengaturan tentang kriteria dan sanski atas perilaku iktikad tidak baik para pihak dalam proses mediasi.
  2. Pengaturan tentang kesepakatan Perdamaian sebagian atas subjek/pihak berperkara maupun kesepakatan perdamaian sebagian atas permasalahan/objek perkara dan tata cara penyelesaiannya.
  3. Penegasan pengaturan bahwa jangka waktu mediasi dikeluarkan dari jangka waktu penyelesaian perkara.
  4. Perubahan jangka waktu mediasi wajib yang semula 40 hari kerja dan dapat diperpanjang 14 hari kerja menjadi 30 hari kerja dan dapat diperpanjang 30 hari kerja.
  5. Penegasan mengenai tahapan mediasi sebagaimana diatur di dalam Pasal 14 Perma, sehingga Hakim yang belum mendapatkan sertifikasi mediator (karena terbatasnya anggaran Mahkamah Agung untuk menyelenggarakan sertifikasi mediator) akan dapat menerapkan mediasi setidak-tidaknya mengikuti tahapan yang hampir sama dengan hakim yang telah mengikuti sertifikasi mediator.
  6. Penegasan mengenai jenis-jenis perkara yang tidak wajib menempuh mediasi wajib, termasuk perkara yang sebelum diajukan gugatan telah diupayakan penyelesaiannya oleh mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan tetapi tidak berhasil. Namun demikian untuk perkara tersebut, jika dalam proses pemeriksaan perkara maupun pada tahap upaya hukum para pihak mengajukan perdamaian secara sukarela, tetap dapat diakomodir.
  7. Pengaturan mengenai sikap hakim pemeriksa perkara dalam hal kesepakatan perdamaian yang diajukan kepada Hakim pemeriksa perkara untuk dikuatkan dalam akta perdamaian belum memenuhi ketentuan di dalam perma.
  8. Penegasan mengenai perlindungan hukum terhadap mediator yang selain tidak dapat dijadikan sebagai saksi dalam perkara yang mediasinya difasilitasi olehnya, juga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas substansi kesepakatan perdamaian.
  9. Penegasan mengenai perdamaian sukarela tahap upaya hukum maupun perdamaian sukarela di luar pengadilan yang dapat dimintakan untuk dikuatkan dalam akta perdamaian dengan atau tanpa dibantu oleh mediator bersetifikat.
  10. Pengaturan mengenai prosedur perdamaian sukarela di luar pengadilan yang dimintakan untuk dikuatkan dalam akta perdamaian oleh pengadilan.

Jika dilihat dari Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang mediasi tersebut lebih menekankan kepada proses pelaksanaan mediasi dan kewajiban dalam melaksanakan mediasi. Namun, tidak menyinggung sejauh mana seorang mediator untuk melaksanakan mediasi terutama dalam hal terjadi perceraian yang disitu ada hak-hak anak yang akan menjadi korban dari perceraian tersebut.

  1. Perlindungan Hukum hak anak akibat perceraian dalam proses mediasi di Pengadilan Agama

Anak sebagai karunia Allah, merupakan titipan yang harus dijaga dengan baik. Orang tua merupakan pihak pertama-pertama yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.[10] Dalam hal melindungi hak anak, negara menetapkan beberapa aturan mengenai hal tersebut. Hak anak setelah perceraian pun diatur di beberapa undang-undang serta Intruksi Presiden di Indonesia, seperti UU No 1 Tahun 1974, UU Perlindungan anak, Kompilasi Hukum Islam dll.

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 mengatur bahwa meskipun terjadi perceraian dalam keluarga, maka anak tetaplah menjadi tanggung jawab bagi kedua orangtuanya. Tanggung jawab terpenting bagi kedua orangtua dapat meliputi menjamin kehidupan anak dan pendidikan anak.[11] Ayah tetap sebagai kepala keluarga dalam sebuah rumah tangga, meskipun terjadi perceraian, maka biaya hidup dan pendidikan anak tetap dibebankan kepada ayahnya. Pembebanan ini, hanya sebatas kemampuan sang ayah. Ketika ayah tidak mampu memenuhi, maka pengadilan berhak untuk memutuskan bahwa ibu juga menanggung biaya hidup dan pendidikan anak.[12]

Aturan di atas menunjukkan, betapa undang-undang sangat melindungi hak anak, meskipun perceraian terjadi di antara orang tuanya. Bagaimanapun posisi orang tua, maka hak anak haruslah terpenuhi oleh kedua orangtuanya. Undang-undang pun tidak memaksa di luar kemampuan sang ayah dalam menafkahi anak, sehingga ibu dapat ikut menafkahi selama alasan ayah tidak mampu menafkahi karena alasan yang memang benar-benar dapat diterima oleh akal. Hal ini dimaksudkan untuk memberi keadilan kepada keduanya, agar kedua pihak tidak merasa terbebani oleh adanya anak.

Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu rujukan hakim dalam memecahkan permasalahan keluarga, juga mengatur mengenai hal-ihwal yang menyangkut pengasuhan anak setelah perceraian. Kompilasi Hukum Islam memaparkan bahwa: hak pemeliharan anak yang belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun) berada di tangan ibu.[13] Anak baru dapat menggunakan hak pilihnya untuk memnentukan pihak yang menagsuh setelah anak mumayyiz (12 tahun ke atas).[14] Ayah tetap sebagai penanggung biaya pemeliharaan anak yang diasuh oleh ibu.[15]

Sehubungan dengan salah satu pihak dari bapak atau ibu yang tidak memenuhin kewajiban sebagaimana mestinya terhapad anak, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan agama agar pihak yang lalai memenuhi kewajibannya.[16]

Nafkah anak setelah terjadinya perceraian yang dibebankan kepada ayahnya, seringkali tidak terpenuhi. Bentuk proteksi UU perlindungan anak mengenai pemenuhan kuasa asuh anak, tercermin dari rumusan-rumusan pasal yang tegas menyatakan bahwa dalam situsi dan kondisi apapun, pelaksanaan kuasa asuh terhadap anak harus tetap terpenuhi. Hal ini dikarenakan, tujuan dari pelaksanaan kuasa asuh adalah untuk terjaminnya hak-hak anak secara maksimal. Undang-Undang perlindungan anak menyatakan dengan tegas bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, menumbuhkembangkan anak-anak dll.[17]

Dalam undang-undang perlindungan anak, orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : pertama, mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Kedua, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. Ketiga, mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. aturan ini juga menunjukkan perlindungan undang-undang terhadap kuantitas dan kualitas anak.[18]

UU Perlindungan anak cenderung kurang memberikan uraian yang tegas dan rinci mengenai tata cara pelaksanaan pengasuhan anak setelah terjadi perceraian. UU ini juga tidak membedakan peran kedua orang tua, ibu ataupun ayah. UU juga tidak membahas mengenai sayarat- syarat tertentu untuk dapat melaksanaan pengasuhan anak.

Aturan-aturan di atas, sebenarnya telah berusaha untuk menjamin hak-hak anak setelah perceraian. Hal ini tercermin pada aturan-aturan baik di dalam Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam tentang pengasuhan anak setelah perceraian. Ibu ditetapkan sebagai pihak yang diutamakan dalam pengasuhan anak yang masih belum mumayyiz. Anak sebagai tanggung jawab kedua orang tua, meskipun hak asuh anak jatuh di tangan ibu, maka ayah tetap berkewajiban menanggung nafkah anak yang diasuh oleh ibu.

Fakta mengatakan, tidak sedikit ayah yang kemudian lepas tangan, ketika pengasuhan anak jatuh ke tangan ibu. Hal ini yang kemudian menjadi sebuah kegelisahan di masyarakat, dan seharusnya tidak terjadi. Anak akan menjadi pihak yang dirugikan, ketika ayah telah mulai lepas tangan dari kewajibannya. Ibu yang berperan sebagai pengasuh anak, dan pemberi nafkah, akan mengakibatkan kedua perannya tersebut kurang maksimal. Hal ini dikarenakan ibu hanya berperan seorang diri untuk memenuhi kasih sayang dan kebutuhan hidup anak. Anak akan cenderung kurang terpenuhi secara utuh baik kasih sayangnya, maupun kebutuhan hidupnya.

Permasalahan di atas dapat diperbaiki dengan cara memperbaiki aturan tentang perlindungan hukum hak anak dalam proses mediasi di Pengadilan. selama ini dalam proses mediasi jarang disinggung masalah hak-hak anak akibat dari perceraian karena disebabkan beberapa hal, seperti;

  1. Substansi hukum;

Substansi hukum bisa dilihat dari Pasal 66 ayat (5)[19] dan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 mengatur ketentuan kumulasi penguasaan anak dan nafkah anak dengan gugatan perceraian. Substansi kedua pasal tersebut juga memiliki kelemahan, karena gugatan penguasaan anak dan nafkah anak dalam sebuah gugatan perceraian bersifat opsional. Penggugat diberikan kebebasan untuk menggabungkan atau tidak menggabungkan gugatan penguasaan anak dan nafkah anak dengan gugatan perceraian sebagai gugatan pokok.

Akibat dari kebebasan memilih tersebut menjadikan penegakan perlindungan hukum terhadap anak akibat perceraian tidak dapat optimal. Selain itu, dalam proses mediasi, seorang mediator juga tidak bisa menjangkau membahas masalah anak antara suami isteri tersebut karena terfokus kepada masalah perceraian saja.

Sebaiknya menurut penulis, substansi Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 perlu diubah terkait soal penguasaan anak dan nafkah anak bukan dalam bentuk dapat akan tetapi harus diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak/cerai gugat.

Sehingga dengan perubahan substansi hukum tersebut, seorang mediator ketika terjadi mediasi antara para pihak dalam perkara perceraian lebih leluasa dan dapat memperoleh kata sepakat tentang hak-hak anak pasca perceraian. Siapa yang berhak mengasuh anak tersebut, berapa nafkah anak yang wajib dikeluarkan oleh seorang ayah terhadap anaknya, dan jika dikemudian hari tidak mampu memberikan nafkah kepada anaknya, apa harta yang bisa menjadi jaminan bagi anak untuk menyongsong masa depan mereka nantinya.

  1. Budaya hukum

Budaya hukum yang dimaksud dalam tulisan ini adalah budaya hukum advokat. Sebagian besar advokat yang beracara di Pengadilan agama dalam menyusun gugatan perceraian hanya memuat masalah perceraian saja, meskipun suami isteri yang akan bercerai tersebut memiliki anak yang membutuhkan perlindungan hukum. Advokat yang seharusnya lebih mengerti dan sadar hukum, tidak berusaha memberikan penjelasan dan penyadaran mengenai pentingnya perlindungan hukum terhadap anak akibat perceraian.

Menurut hemat penulis, setiap advokat yang sadar akan hukum dan perlindungan hak-hak anak, dalam setiap gugatan perceraian/cerai talak harus memuat masalah pengasuhan anak dan nafkah anak, sehingga ketika dalam pelaksanaan mediasi, mediator bisa lebih leluasa menyentuh tentang perlindungan hak-hak anak.

  1. Struktur atau pranata penegak hukum

Peran penting seorang mediator dalam perkara perceraian tidak bisa dihindari, namun sebagian besar mediator dalam melaksanakan mediasi perkara perceraian dilakukan semata-mata hanya untuk memenuhi syarat formal ketentuan Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan. mediator tidak memaksimalkan peran pentingnya sebagai penengah untuk tercapainya penyelesaian perkara perceraian secara lebih komprehensif, termasuk di dalamnya menyelesaikan permasalahan pemeliharaan anak dan nafkah anak.

  1. D.Penutup

Pelaksanaan mediasi adalah suatu proses yang sangat baik untuk menyelesaiakan masalah terutama dalam masalah sengketa dalam keluarga termasuk perceraian dan sengketa hak asuh dan nafkah anak.

Perlindugan hukum hak-hak anak pasca akibat dari perceraian dapat dicegah dalam proses mediasi terlebih dahulu di Pengadilan Agama. untuk memaksimalkan peran mediasi tersebut, maka substansi hukum, budaya hukum dan strutktur/pranata penegaakan hukum perlu menndapat perhatian dan perubahan yang serius dari pengambil kebijakan di negeri ini.

 


[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2006), h. 412,

[2] Lihat Tafsir Al-Thabari, (Libanon: Dar Al-Fikr Al Thaba’ah wa an Nashr wa al-Tauzi, 1980), h. 234

[3] Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah al-Tuwaljiri, Ensiklopedi Islam al-Kamil, Cetakam ke 19, (Jakarta, Darus Sunnah Press. 2011), h. 923

[4] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz III, h. 305

[5] Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat Dalam Islam, (Jakarta: Khalifah, 2004), h. 328

[6] Ahmad S. Moussalli, An Islamic Model for Political Conflict Resolution: Tahkim (Arbitration)”, dalam Abdul Aziz Said, Nathan C. Funk, Ayse S. Kadayifci, Peace and Conflict Resolution in Islam, (Lanham: New York, Oxford: University Pressof America, inc, 2001), h. 145; lihat juga dalam Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet V, h. 1750

[7] Syahrizal Abbas, h. 166

[8] Imam Muhammad bin Isma’il al Kahlani, Subulussalam, Juz III, (Mesir: Mustafa al-baby al-Halaby, 1973), h. 159

[9] Abu al-Fida Isma’il bin Umar bin Katsir al-Qurasy al-Damsiqy, Tafsir al-Qur’an al ‘Azim, Juz 2,Cet. Ke.2, (Riyad: Dar Thayibah, 1999), h. 426

[10] Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 9.

[11] Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 41 ayat (1).

[12] Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 41 ayat (2).

[13] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 105 ayat (1).

[14] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 105 ayat (2).

[15] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 105 ayat (3).

[16] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-3 (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 433.

[17] Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, Pasal 20 dan Pasal 1.

[18] Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, Pasal 26.

[19] Pasal 66 (5) UU Nomor 7 Tahun 1989:”Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan”.

  • Prosedur Bantuan Hukum
  • Prosedur Permohonan Informasi
  • Pengaduan

Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Tidak Mampu

posbakumMahkamah Agung RI pada tanggal 9 Januari 2014 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.

Selengkapnya

Tata Cara Permohonan Informasi

typo colorSecara umum tatacara memperoleh layanan informasi adalah sebagai berikut a. Prosedur Biasa; dan b. Prosedur Khusus. a. Permohonan disampaikan secara tidak langsung, baik melalui surat atau media elektronik; b. Informasi yang diminta bervolume besar; c. Informasi yang diminta belum tersedia; atau d. Informasi yang diminta adalah informasi yang tidak secara tegas termasuk dalam kategori informasi yang harus diumumkan atau informasi yang harus tersedia setiap saat dan dapat diakses publik

Selengkapnya

Syarat Dan Tata Cara Pengaduan

pengaduanSyarat dan tata cara pengaduan mengacu pada Lampiran Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 076/KMA/SK/VI/2009 tanggal 4 Juni 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengaduan di Lingkungan Lembaga Peradilan.

Selengkapnya

Hubungi Kami

WhatsApp Image 2021-10-21 at 11.54.49.jpeg

Pengadilan Agama Rangkasbitung

Jalan Jendral Sudirman KM.03 Narimbang Mulya, Rangkasbitung, Lebak-Banten

Telp: (0252) 201533 | Web:pa-rangkasbitung.go.id
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Link Sosial Media:

    whatsapp-png-image-9.png

Pengadilan Agama Rangkasbitung@2021