PENGADILAN AGAMA RANGKASBITUNG KELAS 1B.png

SIWAS

Aplikasi yang disediakan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, untuk melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran yang terjadi di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia atau Peradilan dibawahnya.
SIWAS

SIPP

Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), merupakan aplikasi administrasi dan penyediaan informasi perkara baik untuk pihak internal pengadilan, maupun pihak eksternal pengadilan. Pengunjung dapat melakukan penelusuran data perkara (jadwal sidang sampai dengan putusan) melalui aplikasi ini.
SIPP

Direktori Putusan

Direktori Putusan adalah sistem berbasis situs web yang dimiliki oleh Kepaniteraan Mahkamah Agung untuk mempublikasikan putusan Mahkamah Agung dan seluruh putusan pengadilan dari empat lingkungan peradilan baik tingkat pertama maupun tingkat banding di seluruh Indonesia.
Direktori Putusan

Gugatan / Permohonan Mandiri

Untuk Pelayanan yang lebih mudah, cepat dan biaya ringan, Ditjen Badan Peradilan Agama menyediakan Layanan Pembuatan Gugatan / Permohonan secara mandiri.
Gugatan / Permohonan Mandiri

Indeks Kepuasan Masyarakat

Indeks Kepuasan Masyarakat

11 Aplikasi Badilag

11 Aplikasi Inovasi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.
11 Aplikasi Badilag

Ketua Mahkamah Agung

"Jika kita tidak mampu menjadi contoh yang baik bagi orang lain, janganlah menjadi sebab untuk terjadinya keburukan, karena satu keburukan akan merusak seribu kebaikan."
Ketua Mahkamah Agung

Ketua Mahkamah Agung

"Setiap Keberhasilan Memerlukan Proses yang Panjang, Usaha, dan Kerja Keras."
Ketua Mahkamah Agung

JADWAL SIDANG

SIPP WEBPengadilan Agama memberikan kemudahan akses informasi jadwal sidang untuk para pihak berperkara.

 

E-COURT

imagesLayanan pendaftaran perkara, taksiran biaya perkara, pembayaran dan pemanggilan secara elektronik.

 

GUGATAN MANDIRI

gugatanmandiriUntuk pelayanan yang lebih mudah, cepat, dan biaya ringan, Ditjen Badan Peradilan Agama menyediakan layanan pembuatan gugatan.

SIWAS

SiwasJika anda menemukan pelanggaran "Kode Etik" di lingkungan Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya, maka laporkan melalui siwas.

BIAYA PERKARA

download 5Estimasi panjar biaya yang dibayar oleh pihak yang berperkara dalam proses penyelesaian suatu perkara.

 

ACO

logo acoAkses cctv untuk memantau kegiatan pengadilan.

 

 

 

 

WhatsApp Image 2021 04 23 at 10.29.17

WhatsApp Image 2021 04 23 at 14.07.54

WhatsApp Image 2021 04 23 at 14.18.01

WhatsApp Image 2021 04 23 at 14.13.07

WhatsApp Image 2021 04 23 at 14.13.071

WhatsApp Image 2021 04 23 at 14.13.08

 

Zona Integritas

 

LKE_ZI.jpg

 

 

 

KONSEP NUSYUZ DAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN SUAMI ATAU ISTRI DALAM SEBUAH RUMAH TANGGA

Disusun oleh:

Muhammad Tsabbit Abdullah, S.H.

Hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung

Dalam relasi suami istri realitas hidup berpasangan yang terjalin, biasanya menimbulkan konsekuensi bisa baik ataupun buruk. Suasana menyenangkan dan menentramkan yang tercipta merupakan implikasi yang baik bagi keduanya. Sedangkan implikasi yang buruk adalah terjadi kekerasan pisik dan psikis yang menyebabkan pertengkaran, perdebatan sengit, dan memunculnya kedurhakaan atau dikenal dengan istilah Nusyuz, bahkan tak jarang mengakibatkan terganggunya keharmonisan hubungan suami Istri. Berbagai alasan nusyuz bisa terjadi disebabkan oleh salah satu pihak merasa tidak puas atas perlakuan pasangannya, tidak terpenuhi hak-haknya, atau dari satu pihak terhadap pihak yang lain terdapat tuntutan yang berlebihan.

Akan tetapi perlu ditinjau kembali yang dirumuskan ulama terdahulu dalam konsep nusyuz Istri kepada suami merupakan istri yang tidak taat kepada suami, sebagaimana istri tanpa izin dari suami untuk keluar rumah, tidak taat kepada suami dan lain sebagainya, sehingga salah satu tindakan dari akibat nusyuz adalah dengan memukul istri. Sebenarnya segala bentuk tindakan kekerasan kepada istri tidak dilegalkan dalam nilai maupun hukum Islam. Al-qur’an menjelaskan dalam Q.S. An-Nisa: ayat ke 34, bahwa pemukulan dalam tindakan nusyuz Istri bukanlah untuk memberikan rasa sakit atau berbuat kekerasan yang seharusnya dimaknai sebagai bentuk memberikan sebuah pelajaran. Padahal dalam ayat tersebut yang dimaksud dengan pemukulan bukan untuk melukai anggota tubuh.

Kekerasan yang dilakukan dalam sebuah rumah tangga di Indonesia sudah diatur sebagai suatu delik dan terhadap para pelaku tindak kekerasan akan ditetapkan sanksinya. Sebagaimana termuat tentang Penghapusan Kekerasan yang dilakukan dalam sebuah rumah tangga Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, yang menghapuskan segala tindak Kekerasan yang dilakukan dalam sebuah rumah tangga, melindungi korban kekerasan dan bagi para pelaku diberikan sanksi sebagai tindak Kekerasan yang dilakukan dalam sebuah rumah tangga serta mengatur bagaimana prosedur penanganan perkara terhadap pelaku kekerasan.

B. Dalil dalam Al-Qu’an dan Al-Hadits tentang Kekerasan yang dilakukan dalam sebuah rumah tangga

  1. Dalil Al-Qu’an:An-Nisa ayat ke 34

Yang artinya: “Kaum lelaki merupakan pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan atas perempuan kepada lelaki, dan karena lelaki telah menafkahkan kepada perempuan sebagian harta dari mereka. Karenanya perempuan salehah adalah perempuan yang tunduk atas perintah Allah, perempuan yang memelihara diri mereka ketika tidak ada suami mereka, karena Allah telah memelihara mereka. Dikhawatirkan bagi kamu perempuan-perempuan yang akan nusyuznya, maka nasehatilah perempuan-perempuan itu dan mereka pisahkanlah dari tempat tidurnya, dan jika tetap maka pukullah mereka. Jika kemudian mereka telah taat kembali, maka jangan sekali-kali kamu untuk mencari jalan yang akan menyusahkan mereka. Karena sungguh-sungguh Allah Maha Tinggi dan Maha Besar.”

  1. Hadis dari Aisyah r.a:

Yang artinya : “tidak pernah sekalipun aku melihat Rasulullah SAW memukul pembantu, maupun memukul istrinya. Tidak pernah Rasulullah memukul dengan tangannya ataupun dengan sesuatu kecuali karena memukul dalam kedaan berjihad atau berperang di jalan Allah”. (H.R. Ahmad).[1]

  1. Hadis dari Muawiyah al Qusyairiy:

Yang artinya: ”Wahai Rasulullah, istri kami apakah haknya?” Beliau menjawab, “ketika kamu makan maka berilah makan, ketika kamu berpakaian maka berilah pakaian, kamu tidak boleh memukul wajahmu, tidak mencaci makinya, dan kamu tidak mendiamkan istri kecuali ketika di dalam rumah“. (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Nasa’i).[2]

C. Pengertian Nusyuz

       Secara lughowi (bahasa) Nusyuz berasal dari kata nasyaza dari bentuk masdar yang artinya tanah yang tersembul tinggi ke atas. Sedangkan beberapa ulama fiqh mendefinikan Nusyus secara terminologis. Menurut fuqaha Hanafiyah, pengertian Nusyuz adalah terjadinya ketidaksenangan antara suami dan istri. Pengertian Nusyuz dari Fuqaha Malikiyah adalah terjadinya permusuhan di antara suami dan Istri. Nusyuz dalam pengetian ulama Syafi’i adalah terjadinya perselisihan yang terjadi antara suami dan istri. Sementara mendefinisikan Nusyuz menurut ulama Hambaliyah adalah dengan ketidaksenangan dan disertai dengan hubungan yang tidak atau kurang harmonis baik dari pihak Istri maupun suami.[3] Ulama Hanafiyah, mendefinisikan Nusyuz sebagai perasaan benci suami kepada istrinya atau mempergauli istrinya dengan kasar. Ulama Syafi‘iyah mendefinisikannya dengan istri yang dimusuhi suami dengan berlaku tidak baik terhadapnya serta pukulan dan tindak kekerasan lainnya. Sedangkan ulama Hambali mendefinisi sebagai suami yang memberikan perlakuan kasar kepada istrinya atau memojokkan istrinya atau hak-hak istrinya tidak diberikan oleh suami sebagaimana hak untuk nafkah, atau dengan pukulan dan lainnya.[4]

       Menurut ulama Hanafiyah pengertian istri Nusyuz kepada suami, adalah istri menutup diri dan tanpa seizin dari suaminya keluar dari rumah, padahal untuk berbuat demikian dia tidak punya hak. Nusyuz dalam pandangan ulama Malikiyah adalah Istri keluar dari aturan yang harus diataati yang telah diwajibkannya, melarang bersenang-senang dengan suami, karena sang istri mengetahui bahwa tidak diizinkannya oleh suami maka keluar rumah tanpa seizin dari suami, meninggalkan perintah Allah. Nusyuz dalam pandangan ulama Syafi‘iyah adalah istri yang melakukan pelanggaran atas ketentuan maupun perintah yang telah diwajibkan Allah SWT kepadanya dan merupakan kedurhakaan istri kepada suaminya.[5]

       Kompilasi Hukum Islam, memberi pengertian bahwa Nusyuznya istri adalah ketika istri bersikap tidak menjalankan atau terhadap kewajibannya tidak mau dilaksanakan seperti untuk berbakti lahir dan batin dan mengatur serta menyelenggarakan dengan sebaik-baiknya atas keperluan rumah tangga sehari-harinya.[6] Dapat disimpulkan dari pengertian-pengertian diatas bahwa nusyuz merupakan yang segala tindakan yang dilakukan istri kepada suaminya dengan sikap kedurhakaan, ketidakpatuhan, kebencian, pertentangan, dan ketidaksenangan, serta perlawanan, dalam ruang lingkup berumah tangga.[7]

C. Makna Kekerasan yang dilakukan dalam sebuah rumah tangga

       Kata kekerasan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah sebagai sifat yang keras, kegiatan kekerasan, paksaan, dan kekejaman.[8] Dalam KBBI (kamus Besar Bahasa Indonesia) mengartikan istilah kekerasan sebagai perbuatan baik yang dilakukan sekelompok orang maupun oleh seseorang yang mengakibatkan cedera atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain atau matinya orang lain.[9] Dalam bahasa Inggris kata “kekerasan merupakan padanan dari kata “Violence”, dari keduanya memiliki konsep yang berbeda. Dalam bahasa Inggris kata “Violence diartikan sebagai invasi atau serangan terhadap fisik maupun terhadap psikologis atau mentalnya. Dalam bahasa Indonesia kata kekerasan diartiakan secara umum hanya bentuk serangan atau tindakan kekerasan secara fisik saja.[10]

       Pada saat ini kekerasan tidak diartikan dalam bentuk kekerasan fisik saja, namun juga secara psikis, terlepas perbedaan kata kekerasan dan violence dari pengertian secara etimologis. Sebagaimana kekerasan kepada istri atau Kekerasan yang dilakukan dalam sebuah rumah tangga yang saat ini dikenal dapat berupa kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran rumah tangga.

       Sedangkan dalam empiris kata “memukul” banyak terjadi pemukulan yang seharusnya tidak dilakukan suami kepada istri dengan melukai fisik istri. Tentu saja hal ini dalam Islam tidak dibenarkan. Faktor kekerasan salah satunya adalah budaya patriakhi masih mengakar di kalangan umat Islam yang dialami perempuan sebagai istri, kedudukan laki-laki lebih tinggi dibanding dengan perempuan dan penguasaan laki-laki terhadap perempuan, yang seakan-akan perempuan merupakan harta milik laki-laki, dimana bentuk patriakhi ini muncul disebabkan karena bentuk ideology yang masih mengakar.

D. Macam-Macam Kekerasan yang dilakukan dalam sebuah rumah tangga

Segala hal yang mendatangkan penderitaan atau kesengsaraan merupakan bentuk Kekerasan yang dilakukan dalam sebuah rumah tangga, baik kekerasan dalam perbuatan fisik maupun non fisik.

Kekerasan yang dilakukan dalam sebuah rumah tangga ada 4 (empat) jenis yang dikemukakan oleh Dr. Hj. Fathul Jannah dkk, yaitu :[11]

  1. Kekerasan dalam bentuk fisik, yaitu segala perbuatan yang melukai atau menciderai, menyebabkan rasa sakit atau perbuatan yang menimbulkan cacat tubuh bahkan mengakibatkan kematian seseorang.
  2. Kekerasan terhadap psikologis seseorang, merupakan perbuatan maupun ucapan yang mengakibatkan rasa takut sehingga kemampuan untuk bertindak hilang baik berupa hilangnya rasa tidak berdaya maupun rasa percaya diri yang hilang.
  3. Kekerasan terhadap ekonomi seseorang, merupakan perbuatan yang membiarkan salah satu pasangannya untuk bekerja atau untuk dieksploitasi atau membatasi salah satu pasangan untuk bekerja yang menghasilkan uang.
  4. Kekerasan terhadap seksual seseorang, merupakan perbuatan dengan cara memaksa istri secara fisik tanpa persetujuan istri atau ketika istri tidak mau melakukan hubungan suami-istri, atau perbuatan pelecehan seksual dengan cara yang tidak semestinya atau istri tidak menyukai.

E. Kekerasan yang dilakukan dalam sebuah rumah tangga dalam Fiqh

Bagi fuqaha berpendapat tentang dibolehkanya melakukan pemukulan, dengan berdasarkan ayat ke 34 pada surat An-Nisa berdasarkan asbab an-nuzul yang diriwayatkan oleh az-Zamakhsyari ketika Istrinya Sa’ad ibn Ar-Rabi’ ibn ‘Amr yaitu Habibah binti Zaid ibn Abi Zuhair. Dalam riwayatnya Habibah nusyuz kepada suaminya yaitu Sa’ad yang merupakan salah satu pemimpin Ansar. Lalu Habibah dipukul oleh Sa’ad, kemudian mengeluhkan perlakuan suaminya kepada ayahnya yaitu Zaid ibn Zuhair. Kemudian ayah Habibah mengadukan kepada Rasulullah akan peristiwa tersebut. Habibah dianjurkan oleh Rasulullah untuk membalasnya dengan setimpal (qishas). Karena peristiwa itu surat an-Nisa’ Ayat ke 34 turun. Setelah turunnya ayat ini, Rasulullah bersabda: “Ketika kita menginginkan suatu cara, Allah menginginkan dengan cara yang lain. Sedangkan yang diinginkan Allah merupakan cara yang terbaik”. Kemudian terhadap pemukulan suaminya yaitu hukum qishas dibatalkan.[12]

Al-Jassas mengaitkan kewajiban Istri kepada suami terhadap penjelasan Q.S. Annisa ayat ke 34. Diawali pembahasannya dengan penjelasan tentang Nusyuz, bahwa riwayat-riwayat tersebut berkaitan dengan ayat tersebut yang menyatakan bahwa karena peristiwa tertentu ayat tentang Nusyuz turun. Dimana ada seorang suami yang melukai istrinya. Kemudian saudara sang Istri datang kepada Rasulullah SAW., dan beliau bersabda agar laki-laki tersebut di-qishash.[13] Dikutip dari Riwayat lain yang menyatakan turun ayat tersebut karena ada peristiwa menampar Istri oleh suaminya, sehingga Rasulullah SAW. memerintahkan diqishas.[14] Dikutip al-Jassas, Abu Bakar menyatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak ada qishas kecuali qishas jiwa.[15]

Sementara dalam riwayat lain dikaitkan dengan ayat Nusyuz tersebut menyatakan jika ia berbuat Nusyuz diperbolehkan suami menampar Istrinya, dan Allah memperbolehkan untuk memukulnya. Riwayat ini menerangkan bahwa ketika dikhawatirkan para perempuan berbuat nusyuz, maka suami menasehati mereka, kemudian dipisahkannya ranjang suami istri dan terakhir istri boleh dipukul. Sebagaimana diawalinya ayat ini dengan pernyataan bahwa lelaki adalah pemimpin bagi perempuan. Kata “qawwam menurut al-Jassas dimaksudkan sebagai pemberi pelajaran menjadikannya beradab baik tentang sopan santun dengan menjaga dan mengurusnya. Maka, Allah dalam ayat tersebut mengunggulkan atas perempuan yaitu laki-laki, baik dalam akal dan nafkah.

Perlakuan atau cara suami ketika Istrinya berbuat nusyuz, dalam penjelasan al-Jassas, berdasarkan ayat tersebut yaitu yang pertama menasehati istrinya dengan cara mengingatkan agar taat kepada kepada Allah. Jika tidak berhasil cara selanjutnya adalah pisah ranjang, baik memisahkan secara lughowi atau mengucilkannya dengan perkataan, bisa juga tidak menggaulinya, dan pisah ranjang. Jika tetap tidak berhasil maka langkah selanjutnya adalah memukulnya, akan tetapi ketika Istri telah kembali mentaati suami dan perintah Allah setelah pisah ranjang, maka tidak boleh istri dipukul oleh suami (Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas).[16]

Dalam riwayat lain dijelaskan yang artinya takutlah kepada Allah, karena kamu telah mengambil sebagian dari mereka sebagi amanah Allah maka dihalalkan bagimu untuk menggaulinya dengan kalimah Allah, dan pukullah Istrimu dengan pukulan yang tidak menyebabkan luka supaya Istrimu tidak melakukan jima dengan lelaki lain yang tidak kamu sukai di ranjangmu, dan Istrimu berhak memperoleh nafkah dan pakaian yang baik dari kamu. (Diriwayatkan oleh Ja‘far bin Muhammad dari ayahnya, dari Jabir bin Abdillah).[17]

Izin pemukulan kepada istri yang nusyuz merupakan isyarat dalam keadaan terpaksa sebagaimana dalam hadis, dalam tafsirnya yang dikutip al-Alusi: Dari Ummi Kaltsum bin Abu bakar al-Shiddiq r.a berkata, bahwa suami dilarang memukul istrinya. Kemudian mereka mengadu kepada Rasulullah SAW, dan Rasul pun bersabda: “ bahwa orang yang paling baik diantara kamu, adalah orang yang tidak akan pernah memukul istrinya.”

Sebagaimana dikutip dalam Imam taqiuddin, menurut Imam Syafii pemukulan itu tidak sampai dengan pemukulan yang berat, memukul harus menjaga muka dan tidak boleh menyebkan luka atau berdarah. Artinya memukul istri oleh suami dibolehkan hanya untuk memberi pelajaran dan pengajaran tehadap istri yang melakukan perbuatan nusyuz. Tapi harus dibatasi kebolehan memukul dengan batasan yang jelas yang bertujuan bukanlah untuk memberikan rasa sakit dan tidak dengan pukulan yang keras sehingga tidak meninggalkan luka. Selain itu memukul tidak boleh memukul wajah. meskipun ayat memperbolehkannya untuk memukul tetapi yang lebih baik adalah tidak memukul istri, karena pilihan Rasulullah adalah agar tidak memukul istri.

Sebagaiman dijelaskan di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Ulama mazhab dalam hal pemukulan sepakat, menurut Muhammad ‘Ali as-Sabuni dan Wahbah az-Zuhaili bahwa pemukulan yang dibenarkan adalah ghair mubarrih atau pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak melukai, bahkan tidak merusak muka apalagi sampaim ematahkan tulang.[18]

Al-Razi dan alThabari memiliki pemahaman yang hampir sama dengan ulama fiqh, sebagaimana Rasyid Ridho dan Muhammad Abduh yang tidak menafikan dimungkinkannya untuk dilakukan pemukulan kepada istri dalam rumah tangga yang diyakini telah melakukan nusyuz, karena pemukulan hanya upaya untuk memberikan pendidikan bagi nusyuznya Istri. Terkait masalah pemukulan ini, semua mufassir sepakat dengan memberikan catatan terhadap dibolehkannya pemukulan dengan pukulan yang dibenarkan yaitu pukulan yang tidak menyakitkan, tidak merusak muka, tidak melukai, dan tidak mematahkan tulang. Dan para mufassir mengutamakan untuk lebih baik meninggalkannya.[19]

F. Kesimpulan

Diturunkannya Al-Qur'an adalah agar dibebaskannya manusia dari segala bentuk tindak kekerasan dan penganiayaan baik berupa diskriminasi maupun penindasan.

Perbedaan diantara kaum laki-laki dan kaum perempuan tidak dinafikan dalam Al-qur’an, akan tetapi salah satu diantara keduanya tidak dijadikan dasar untuk mengistimewakan dalam perbedaan tersebut. Laki-laki dan perempuan merupakan bentuk kemitraan dalam hubungannya sebagai suami istri, hubungan suami istri adalah saling menyempurnakan sebagaimana yang telah Al-Qur’an gambarkan.

Akibat hak dan kewajiban tidak dipenuhi dalam rumah tangga suami istri bisa dikatakan sebagai salah satu sebab kekerasan terjadi. Hal ini banyak dikaitkan dengan Nusyuznya seseorang.

Hukum Islam merumuskan tindakan dalam menyelesaikan kasus nusyuz istri dengan beberapa tahapan. Namun dalam konsep hukum Islam, nusyuz tidak melegalkan dilakukannya kekerasan kepada istri. Pemukulan suami karena Istri berbuat nusyuz yang tercantum dalam Q.S. An-Nisa ayat ke 34, seharusnya dimaknai bukanlah untuk memberikan rasa sakit bahkan berbuat kekerasan akan tetapi sebagai tindakan untuk memberi pelajaran, karena tidak boleh melukai atas pemukulan tersebut. Sementara dapat dinyatakan sebagai nusyuznya istri sehingga suami memukul kepada istri hingga terluka atau melakukan kekerasan kepada istri oleh suami. Dan perlu ditinjau kembali atas rumusan ulama terdahulu dalam konsep nusyuz Istri kepada suami sebagai istri yang tidak taat kepada suami sesuai dengan perkembangan dan sosio kultural masyarakat.

Islam selalu mengajarkan untuk menebar kasih sayang dan lemah lembut dalam bersikap. Islam melarang melakukan tindakan kekerasan baik dalam bentuk apapun di dalam rumah tangga pasangan suami istri, karena dalam Islam kekerasan menjadi bertentangan antara tindakan kekerasan dengan nilai Islam yang terkandung didalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

  1. A.Buku

Abduh, Muhammad dan Rasyid Ridha, 1975, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Al Ghazali, Imam, Hak-hak Suami-Istri, L.M. Syarifii, Suranaya: Bintang Pelajar.

Al Hanafi, Zainuddin Ibn Najm, al-Bahr ar-Rafiq, Pakistan: Karachi.

Al- Jassas, Imam, Ahkam al-Qur’an, Beirut: Al-A‘lami.

Al-Sadlani, Shaleh bin Ghanim, 1993, Nusyuz, Konflik Suami Istri dan Penyelesaiannya, terj. Muhammad Abdul Ghafar, Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Dahlan, Abdul Aziz (ed.), 1993, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Daud, Abu, Ain Al Ma’bud, Beirut: AlMaktabah Assalafiyyah.

Faqih, Mansour, 1997, Perkosaan dan Kekerasan Perspektif Analisis Gender, dalam Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki (eds.), Perempuan dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta: PKBI.

Hambal, Abu ‘Abdillah Ahmad bin, 1978, Musnad Ahmad bin Hambal, Beirut: al-Maktab al-Islami.

Jannah, Hj. Fathul, DR., SH., MS., dkk, 2003, Kekerasan Kepada istri, Cet. ke-1, Yogyakarta: LkiS.

Komarudin, Kompilasi Hukum Islam, 2000, Jakarta: Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Mulia, Siti Muzdah 2005, Muslimah Reformis: Perempuan-perempuan Pembaharu Keagamaan, Bandung: Mizan.

WJS. Purwodarminto, 1984, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Zamakhsyari, Al-Kasysyaf an-Haqaiq At-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil, Taheran : Intisyarat Aftab.


[1] Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hambal, “Musnad Ahmad bin Hambal”, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978), hlm. 229.

[2] Abu Daud , Ain Al Ma’bud, (Beirut: Al-Maktabah Assalafiyyah, tth), hlm. 524.

[3] Shaleh bin Ghanim al-Sadlani, “Nusyuz dan Konflik Suami Isteri dan Penyelesaiannya, terj. Muhammad Abdul Ghafar”, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), hlm. 26

[4] Zainuddin Ibn Najm al Hanafi, “al-Bahr ar-Rafiq” (Pakistan: Karachi, t.t.), IV: 78.

[5] Shaleh bin Ghanim al-Sadlani, “Nusyuz, Konflik Suami Isteri dan Penyelesaiannya”, hlm. 26- 27.

[6] Kompilasi Hukum Islam, ( Jakarta: 2000), hlm. 26

[7] Imam Ghazali, “Hak-hak Suami-Isteri, L.M. Syarifii”, (Suranaya: Bintang Pelajar), hlm. 43.

[8] WJS. Purwodarminto, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 489.

[9] Siti Muzdah Mulia, “Muslimah Reformis Perempuan-perempuan Pembaharu Keagamaan”, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 155

[10] Mansour Faqih, “Perkosaan dan Kekerasan Perspektif Analisis Gender”, (Yogyakarta: PKBI, 1997), hlm. 7.

[11] Hj. Fathul Jannah, SH., MS., dkk. “Kekerasan Terhadap Jstri”, (Yogyakarla: LkiS, 2003) Cet.ke-1., hlm. 14-15.

[12] l-Zamakhsyari, “Al-Kasysyaf an-Haqaiq At-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil”, (Taheran : Intisyarat Aftab, tth.),. hlm. 524.

[13] Imam al- Jassas, “Ahkam al-Qur’an”, Beirut: Al-A‘lami, t.t. hlm 266.

[14] Ibid., hlm 267.

[15] Ibid., hlm 267.

[16] ibid, hlm. 268

[17] ibid, hlm. 268-269.

[18] Abdul Aziz Dahlan, “Ensiklopedi Hukum Islam”, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 1355.

[19] Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, “Tafsir al-Manar”, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1975), hlm. 74-75.

  • Prosedur Bantuan Hukum
  • Prosedur Permohonan Informasi
  • Pengaduan

Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Tidak Mampu

posbakumMahkamah Agung RI pada tanggal 9 Januari 2014 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.

Selengkapnya

Tata Cara Permohonan Informasi

typo colorSecara umum tatacara memperoleh layanan informasi adalah sebagai berikut a. Prosedur Biasa; dan b. Prosedur Khusus. a. Permohonan disampaikan secara tidak langsung, baik melalui surat atau media elektronik; b. Informasi yang diminta bervolume besar; c. Informasi yang diminta belum tersedia; atau d. Informasi yang diminta adalah informasi yang tidak secara tegas termasuk dalam kategori informasi yang harus diumumkan atau informasi yang harus tersedia setiap saat dan dapat diakses publik

Selengkapnya

Syarat Dan Tata Cara Pengaduan

pengaduanSyarat dan tata cara pengaduan mengacu pada Lampiran Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 076/KMA/SK/VI/2009 tanggal 4 Juni 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengaduan di Lingkungan Lembaga Peradilan.

Selengkapnya

Hubungi Kami

WhatsApp Image 2021-10-21 at 11.54.49.jpeg

Pengadilan Agama Rangkasbitung

Jalan Jendral Sudirman KM.03 Narimbang Mulya, Rangkasbitung, Lebak-Banten

Telp: (0252) 201533 | Web:pa-rangkasbitung.go.id
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Link Sosial Media:

    whatsapp-png-image-9.png

Pengadilan Agama Rangkasbitung@2021